Cirebon merupakan kota
yang unik di wilayah Jawa Barat. Akulturasi yang terjadi di wilayah ini
menyebabkan Cirebon berbeda dengan daerah lainnya di wilayah Jawa Barat.
Berdasarkan sejarahnya, Cirebon adalah bekas ibu kota kerajaan besar yang
kekuasaannya meliputi seluruh Jawa Barat. Pada zaman Hindu, Cirebon berada di
bawah Kerajaan Galuh. Sejak awal berdirinya, Kota Cirebon menduduki posisi yang
sentral. Mula-mula kota ini menjadi pusat kerajaan Cirebon. Pada zaman Belanda,
Kota Cirebon berkedudukan sebagai ibu kota karesidenan, ibu kota
kabupaten dan sekaligus sebagai ibu kota distrik. Bahkan pada tahun 1906
Kota Cirebon dijadikan sebagai gemeente (kotapraja).[1]
Kerajaan yang didirikan
oleh Sunan Gunung Jati (1479 – 1568) merupakan pusat pengembangan Islam di Jawa
bagian barat.
Meskipun sebagai pusat kerajaan Islam, Keraton Cirebon merupakan keraton yang
terbuka. Secara turun-temurun mulai dari Sunan Gunung Jati sampai Sultan Sepuh
Hasanudin (1786-1791), kerjaan ini selalu menjalin hubungan antarbangsa baik
dalam hubungan dagang maupun politik. Persahabatan antarbangsa juga digambarkan
secara nyata oleh Sultan Kasepuhan Cirebon dalam bentuk kereta kerajaan yang
berbentuk binatang buroq yang bermahkotakan naga dan berbelalai simbol
persahabatan antara Cirebon, Cina, Arab, dan India yang beragama Hindu.[2]
Akulturasi budaya ini
juga masih ditambah lagi dengan perpaduan budaya Sunda dan Jawa. Meskipun
Kesultanan Cirebon berasal dari Kerajaan Padjadjaran, namun budaya Jawa
juga turut mewarnai. Hal ini dikarenakan interaksinya dengan Kerajaan Mataram dan Demak.
Bahasa yang
digunakan pada
masyarakat Cirebon menunjukkan suatu keberagaman. Di sini terjadi persinggungan
antara bahasa
Sunda, bahasa
Jawa dan bahasa
Indonesia. Meskipun bahasa-bahasa tersebut pada umumnya digunakan secara
terpisah, namun pada beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah
penggunaan bahasa yang berbeda, masyarakat biasanya dapat berkomunikasi dalam
dua bahasa dengan baik dan dapat saling mengerti walaupun mereka masing-masing
menggunakan bahasa yang berbeda. Masyarakat Cirebon mengenal bahasa halus
(keraton) dan bahasa lumrah (kasar) meski terkadang banyak
kemiripan dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Jika berbicara mengenai Cirebon, maka tidak lepas dari sejarah kesultanan
yang turut berkontribusi dalam merintis Kota Cirebon. Kesultanan Cirebon merupakan
kesultanan di Pantai Utara Jawa Barat dan kerajaan Islam
pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama suatu wilayah
administrasi, ibu kota, dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas
sebuah keresidenan yang meliputi Kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah
tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga
kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari
sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh
Pangeran Wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber
asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires saat mengunjungi
Cirebon pada tahun 1513, yang berjudul Suma Oriental.
Pada zaman Hindu, nama
Cirebon hampir tidak dikenal. Ketika pengaruh Islam kuat, nama Cirebon mulai
tercatat dalam sejarah melalui laporan-laporan, seperti laporan yang ditulis
Tome Pires. Ia menggambarkan Kota Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan
yang bagus. Ia juga menggambarkan bahwa Kota Cirebon pada waktu itu dihuni oleh
sekitar seribu orang.[3]
Berdasarkan beberapa
sumber atau literatur mengenai sejarah dan nama Cirebon setidaknya terdapat dua
pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran
Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada
tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad
ke-18) menyebutkan bahwa Kota
Cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang
kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati,
Dukuh Pasambangan yang membuat
terasi dari udang kecil (rebon). Adapun sebutan lain yang masih
bersumber dari Nagarakertabhumi
menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang
berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran
penduduk.
Beberapa peristilahan
berkaitan dengan nama Cirebon yang sempat tercatat pada manuskrip lama dan
arsip daerah maupun arsip nasional, sejak berdirinya hingga sekarang
adalah: Dukuh Lemahwungkuk, Dukuh Cirebon, Dukuh Carbon, Bandar Cirebon,
Nagari Caruban atau Caruban Nagari, Algemeinte op Cheribon, Kota
Swapraja Cirebon, Kotapraja Cirebon, Kotamadya Cirebon dan terakhir
adalah Kota Cirebon.
Kota Cirebon juga
terkenal dengan julukan "Kota Wali". Hal ini dikarenakan pada
abad 15-16, Kota
Cirebon menjadi tempat berkumpulnya para wali, terutama kelompok Wali
Sanga atau Wali Sembilan yang bertugas menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Karena julukan ini pula, Cirebon dikenal kalangan
luas di berbagai daerah, bahkan sering menjadi tujuan wisata ziarah Wali
Sanga.
Sejarah
mengatakan, bahwa Kota Cirebon berkembang mulai dalam bentuk pedukuhan. Pedukuhan tersebut konon didirikan pada 1
Sura 1204 Saka atau 1 Muharam 792 H, oleh putra sulung Prabu Siliwangi yang
bernama Kian Santang (bergelar Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon Ki Somadullah) dalam waktu
hanya satu hari satu malam. Jadi secara genealogi, Kesultanan Cirebon masih
berhubungan dengan Padjadjaran yang pada saat itu dipimpin oleh Prabu
Siliwangi. Ada beberapa pendapat yang meragukan dan mempertanyakan sosok Prabu
Siliwangi, apakah itu nama seorang Raja Padjadjaran yang termasyhur atau hanya
gelar seorang raja Padjadjaran.[4] Pendirian
atau pembentukan dukuh tersebut dibantu oleh adiknya, Rara Santang;
istrinya, Nyai Indang Geulis dan seorang lelaki tua yang misterius,
bernama Ki Gede Pangalangalang yang kemudian diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemahwungkuk atau Kuwu
Cirebon I.
Semula pedukuhan
tersebut bernama Dukuh Lemahwungkuk yang berarti tanah yang menggunduk. Oleh
karena terkenal dengan makanannya yang terbuat dari rebon (jenis
udang berukuran kecil), lambat laun dukuh tersebut berubah
menjadi Dukuh Cirebon (Ci berarti
air dan rebon adalah nama jenis udang berukuran kecil). Pada
perkembangannya, Dukuh Cirebon berubah menjadi
Bandar Cirebon, karena pelabuhan yang ada telah menjadi pusat aktivitas ekonomi
dan perdagangan di dukuh Cirebon. Sampai sekarang Kota Cirebon dijuluki
sebagai Kota Udang.
Kisah asal-usul Cirebon
sendiri dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam
bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah
yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Cerita Purwaka Caruban Nagari, Babad
Cirebon, Sejarah Kesultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang
paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun
1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan.
Cerita dalam naskah itu
menyebutkan bahwa asal mula kata "Cirebon" adalah
"sarumban", lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”.
Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi "Carbon", berubah
menjadi kata "Cerbon", dan akhirnya menjadi kata
"Cirebon". Menurut
sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai "Pusat
Jagat", negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa.
Masyarakat setempat menyebutnya "Negeri Gede". Kata ini kemudian
berubah pengucapannya menjadi "Garage" dan berproses lagi menjadi "Grage".
Munculnya istilah
tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran
Cakrabumi alias Cakrabuwana. Kata "Cirebon" berdasarkan kiratabasa dalam
Bahasa Sunda berasal dari "ci"
artinya "air" dan "rebon" yaitu "udang kecil"
sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa
dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang
berkualitas baik.
Berbagai sumber
menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki
Gedeng Sedhang Kasih, sebagai Kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng
Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai
Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu
Anggalarang. Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi
Puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura,
tetangga Nagari Surantaka.
Dari perkawinan tersebut
lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan
Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara
Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng
Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng
Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta
berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama
baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari Tanah Suci diganti nama menjadi Haji Abdullah
Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang
diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah ini berkembang dan
mulai banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina sehingga disebutlah
daerah ini “Caruban” yang berarti campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, karena
di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat
tinggal atau berdagang.
Atas saran gurunya,
Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang.
Di Tanah
Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah, keturunan Bani Hasyim putera
Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari
perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung
Jati. Dilihat dari genealogi,
Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang Wali Sanga,
menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya menikah,
Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di Tanah Air, beliau mendirikan Masjid Jalagrahan dan
membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki
Danusela meninggal, Ki
Samadullah diangkat menjadi Kuwu
Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi
Nagari Caruban Larang.
Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai
Sri Mangana yang dianggap
sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di
berbagai negara, Pangeran Cakrabuana kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan
Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar
Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan
Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di Pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke
Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar agama Islam,
menggantikan Syekh Datuk
Kahfi. Syekh Jati juga mengajar di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan
Nyai Babadan, Puteri
Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi
dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana, di samping menikahi
Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian
pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati
Kawunganten yang keturunan Padjadjaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam
dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai
Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana
Hasanuddin, pendiri
Kerajaan Banten.
Sementara itu, Pangeran
Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah
pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Jati atau
Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban
Larang dari sebuah Nagari mulai dikembangkan sebagai pusat kesultanan dan namanya diganti menjadi
Cerbon.
Pada saat itu,
berdirinya Nagari Caruban telah cukup memenuhi persyaratan
terwujudnya sebuah nagari yaitu dengan adanya:
1. Wilayah
kekuasaan dari batas Nagari Singapura paling utara, mungkin termasuk wilayah
Surantaka, sampai batas Japura paling Timur, kemudian sebelah baratnya mencakup Caruban Girang.
2. Ibu
negeri dengan istananya di dekat Kali Kriyan sebagai pusat pemerintahan.
3. Memiliki
pelabuhan utama bernama Muara Jati, dan pelabuhan kecil di beberapa tempat,
termasuk Pelabuhan Cirebon sekarang.
4. Pasukan
pengawal wilayah.
5. Eksistensinya
diakui oleh kerajaan lain, dalam hal ini oleh Prabu Siliwangi, ayahnya.
6. Sejumlah
rakyat yang bercorak ragam asal-usulnya, dengan perbagai profesi, yang taat
kepada pimpinan Nagari Caruban.[5]
Kelengkapan nagari seperti
itu dilengkapi juga dengan hukum dasar yang melandasinya, yaitu Islam karena
pendirinya adalah seorang ulama yaitu Haji Abdullah Iman atau Ki Somadullah
atau Cakrabuwana yang telah belajar agama di Mekah dengan seorang guru yang
bernama Syeh Datuk Kahfi dan Syeh Abdul Yazid dan juga berguru di negeri Campa.[6] Selain
dasar Islam, hukum adat juga mungkin digunakan dalam menjalankan pemerintahan
peninggalan kakeknya Ki Gedeng Tapa dan Kuwu Caruban ke-I, Ki Danusela,
mengingat masyarakat Caruban belum sepenuhnya beragama Islam.[7] Melihat karakteristik dan syarat
sebuah nagari seperti itu, sudah pantas Cirebon menjadi sebuah nagari.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di Kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi
cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan merupakan keraton yang
bercorak Islam dengan Keraton Pakungwati sebagai cikal bakalnya. Pada awal
berdirinya Kesultanan Cirebon, dengan rajanya bernama Pangeran Cakrabuana, keraton
yang ada bernama Pakungwati. Nama pakungwati ini diambil dari nama putri raja
Padjadjaran.
“Keraton Cirebon itu merupakan keraton Islam yang dulu bernama Keraton Pakungwati, dibangun sekitar tahun 1430 M dengan rajanya Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi. Dinamakan
Pakungwati diambil dari nama putri Raja Padjadjaran. Arti Pakungwati itu udang perempuan...”[8]
Meskipun Keraton
Pakungwati didirikan dan dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana, namun pada saat itu
belum berbentuk kerajaan. Setelah Keraton Pakungwati telah berdiri dan
kepemimpinan digantikan oleh putra dari adiknya yaitu Rarasantang yang bernama
Syarif Hidayatullah, maka ia resmi menjadi raja pertama Keraton Pakungwati.
Karena alasan inilah Syarif Hidayatullah merupakan pemimpin Keraton Pakungwati
pertama sebelum berdirinya Kasepuhan atau sebelum terpecahnya
Kesultanan Cirebon. Adapun
silsilah Keraton Pakungwati adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Silsilah
Keraton Pakungwati
No
|
Nama
|
Periode
|
Keterangan
|
1
|
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
|
1429-1526
|
Memerintah
|
2
|
P. Adipati Pasarean
(P. Muhammad Arifin)
|
1496-1520
|
Tidak memerintah
|
3
|
P. Dipati Carbon I
(P. Sendang Kamuning)
|
1520-1533
|
Tidak memerintah
|
4
|
Panembahan Ratu Pakungwati I
(Panembahan Emas Zainul Arifin)
|
1526-1649
|
Memerintah
|
5
|
P. Dipati Carbon II
(P. Sendang Gayam)
|
1578
|
Tidak memerintah
|
6
|
Panembahan Ratu Pakungwati II
(Panembahan Girilaya)
|
1649-1662
|
Memerintah
|
Sumber: Arsip Keraton
Kasepuhan
De Haan[9] menjelaskan
bahwa setelah Sunan Gunung Jati wafat, sebagai pengganti Raja Pakungwati adalah
cicitnya, yaitu Pangeran Emas Zaenul Arifin yang bergelar Panembahan
Ratu. Ini terjadi karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, akhirnya
tahta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon
atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I.
Setelah Panembahan Ratu
I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah
Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar almarhum
ayahnya, yaitu Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan
sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Tidak lama setelah pengangkatannya, ia diundang ke Mataram bersama istri
dan dua orang putranya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Ia tidak pernah
pulang ke Cirebon karena tinggal di Mataram selama sekitar 12 tahun. Ia
meninggal di Mataram dan dimakamkan di Girilaya. Berdasarkan tempat
pemakamannya inilah, Panembahan Ratu II dikenal dengan sebutan Panembahan
Girilaya. Selama
terjadi kekosongan pemimpin saat Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada
di Mataram antara tahun 1662-1667, kepemimpinan dipegang oleh Pangeran
Wangsakerta.
Setelah Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II wafat, kekuasaan
Keraton Pakungwati dibagi kepada kedua putranya yang tertua yaitu Panembahan
Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Syamsuddin,
dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I yang bergelar Abil
Makarim Badruddin. Kedudukan
dua Sultan itu menyebabkan dengan sendrinya mereka tinggal di keraton yang berbeda,
masing-masing dengan kelengkapan keratonnya tersendiri.
Setelah terpecahnya Kesultanan Cirebon, maka kedua pewaris tahta Keraton
Pakungwati memiliki keraton masing-masing. Menurut Berg,[10] Sultan Sepuh wafat pada tahun 1697.
Setelah Sultan Sepuh wafat, kepemimpinan Keraton Kasepuhan dibagi antara
putranya, yaitu Pangeran Adipati Anom menjadi Sultan Sepuh II berkuasa di
Keraton Kasepuhan, dan Pangeran Arya Carbon menjadi Sultan Kacirebonan I.
Pada tahun 1729, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Arya Carbon baru
mendapat gelar Sultan. Kemudian tentang urutan pengganti tahta selanjutnya
ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1751, bahwa setiap raja di dalam urutannya
akan digantikan oleh putra pertamanya. Berikut adalah silsilah Kesultanan
Kasepuhan:
Tabel 2 Silsilah
Kesultanan Kasepuhan
No
|
Nama
|
Periode
|
1
|
Sultan Sepuh Raja Syamsuddin
|
1679-1697
|
2
|
Sultan Raja Tajularifin Jamaludin
|
1697-1723
|
3
|
Sultan Raja Jaenudin
|
1723-1753
|
4
|
Sultan Raja Amir Sena
|
1753-1773
|
5
|
Sultan Sepuh Shafiudin Matangaji
|
1773-1786
|
6
|
Sultan Sepuh Hasanudin
|
1786-1791
|
7
|
Sultan Sepuh Joharudin
|
1791-1815
|
8
|
Sultan Raja Udaka
|
1815-1845
|
9
|
Sultan Raja Sulaeman
|
1845-1880
|
10
|
Sultan Raja Atmaja
|
1880-1899
|
11
|
Sultan Sepuh Raja Aluda Tajularifin
|
1899-1942
|
12
|
Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
|
1942-1969
|
13
|
Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat
|
1969-2010
|
14
|
Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat
|
2010- sekarang
|
Sumber: Arsip Keraton Kasepuhan
[1] Staatsblad No. 122, 1906, dalam
Sulistiyono. 1994, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”, Tesis pada
Program Studi Sejarah, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, hal 37. (Tidak
Dipublikasikan)
[2] Kereta kerajaan ini masih disimpan di Museum
Singa Barong. Sesuai dengan nama museumnya, keretanya pun dinamakan Singa
Barong yang berwujud gabungan antara singa, burung, dan gajah. Kereta
ini adalah sebuah kereta perang kerajaan peninggalan abad ke-17
yang memiliki bentuk mewakili beberapa unsur kebudayaan yang ada di Cirebon.
Kereta yang ditarik oleh kerbau putih ini memiliki belalai yang menyerupai
gajah, badan dan kepala menyerupai naga, dan
sayap. Kereta ini hanya dikeluarkan dalam acara-acara
tertentu.
[3] Sulistiyono, Singgih Tri. 1994, “Perkembangan
Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat
Kota Cirebon 1859-1930”, Tesis Program Studi Sejarah, UGM,
Yogyakarta. Hal 130-131. (Tidak Dipublikasikan)
[4] Identitas tokoh Prabu Siliwangi mengandung masalah
ditinjau dari segi budaya. Pada satu pihak orang Sunda menganggap Prabu
Siliwangi sebagai tokoh sejarah yang pernah ada dan hidup di dunia nyata
sebagai raja terbesar. Di pihak lain ada yang berpendapat nama Prabu Siliwangi
sebagai Raja Sunda sama sekali tidak tercatat dalam sumber primer tentang
kerajaan Sunda. (Ekajati, Edi Sukardi. 2009, Kebudayaan Sunda Zaman
Padjadjaran Jilid 2, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, Hal. 115).
Walaupun masih terjadi perdebatan soal identitas Prabu Siliwangi, namun hampir
semua percaya bahwa Prabu Siliwangi pernah ada, entah itu adalah sebutan atau
gelar, ataupun memang itu nama aslinya.
[5] Sunardjo, Unang. 1983, Meninjau
Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809, Penerbit
Tarsito, Bandung. Hal. 46
[6] Ada yang berpendapat bahwa negeri Campa
terletak di Kamboja dan sekarang sebagian wilayahnya masuk wilayah Vietnam.
Pada saat di negeri Campa, Ki Somadullah belajar agama pada Syeh Maulana
Ibrahim Akbar dan pada akhirnya menikahi putri gurunya yang bernama Nhay Rasa
Jati.
[9] Dalam
Heriyanto, op. cit. Hal. 76-77; lihat juga dalam Booklet yang
diterbitkan oleh Yayasan Keraton Kasepuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar