Pernyataan kedua orang putra Cirebon yang
terbilang cukup kontroversial itu mengemuka dalam sebuah forum resmi, yakni
pada saat keduanya didaulat menjadi nara sumber (pembicara) dalam seminar
sehari kebudayaan Cirebon. Perhelatannya itu sendiri digelar oleh Pusat Studi
Kebudayaan UGM (28/1/03) di Wisma Kagama Yogyakarta. Pernyataan-pernyataan dua
dari lima orang pembicara yang notabene pelaku budayanya itu sendiri cenderung
spekulatif. "Alih-alih mengidentifikasi Cirebon sebagai topik pembicaraan
utama, sebaliknya malah keduanya mengumumkan ketidakjelasan sosok
Cirebon!", tulis diding Adut Karyadi, sengit (Mitra Dialog, 1/2/03).
Tentu saja hal itu tidak hanya menimbulkan
berbagai pertanyaan bernada heran, tetapi sekaligus memicu perdebatan panjang,
khususnya bagi peserta dari Cirebon -- sebanyak satu bus -- yang sengaja
didatangkan oleh pihak panitia. Persoalannya adalah benarkah Cirebon tidak
memiliki kepribadian yang jelas? Namun, lepas dari semua persoalan di atas,
tulisan ini tidak bermaksud mengadili Nurdin dan Alwy, tetapi akan mencoba
lebih jauh menelisik berbagai faktor dan indikator yang pada akhirnya
diharapkan dapat mengungkap, paling tidak mendekati, apa dan siapa Cirebon yang
sebenarnya.
Memperbincangkan dirinya
Dalam perspektif kebudayaan, diakui atau tidak,
Cirebon sesungguhnya merupakan sebuah fenomena menarik yang banyak menyedot
perhatian berbagai kalangan. Cirebon ternyata tidak hanya diperbincangkan,
tetapi juga memperbincangkan dirinya. Bagai sebuah misteri, pada saat-saat
peristiwa budaya berlangsung, Cirebon menjadi pusat perhatian, dari yang hanya
sekadar ingin tahu sampai yang melakukan berbagai penelitian. Sehingga --
menurut istilah Arthur S. Nalan -- dewasa ini Cirebon telah menjadi sebuah
wilayah yang sudah lidig (tanah yang penuh dengan jejak kaki). Hal itu secara
eksplisit memberi petunjuk pada kita bahwa sosok daerah itu memiliki daya tarik
tersendiri, terutama yang menunjuk pada relasinya dengan tipikal seni budayanya
yang unik.
Terbentuknya unikum
budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya
hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor
geografis dan historis. Dalam konteks ini, sebagai daerah pesisir, Cirebon
sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang
penting di pesisir Utara Jawa. Oleh karena itu, dalam posisinya yang demikian
itu, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan
mendalam. Cirebon menjadi daerah melting pot, tempat bertemunya berbagai suku,
agama, dan bahkan antarbangsa.
Menurut Pustaka Jawadwipa, pada tahun 1447 M,
kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah
sekira 346 orang yang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa,
Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan Cina. Sebagai
konsekuensi logis dari realitas masyarakat yang sedemikian plural, proses akulturasi
budaya dan sinkrentisme menjadi sebuah keniscayaan yang tak terlekan.
Suatu hal yang menarik dalam konteks sosial
masyarakat penghuni wilayah yang sebelumnya dikenal dukuh Kebon Pesisir itu,
secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain,
saling melengkapi. Secara kasat mata, kita dapat melihat dan menyimak bagaimana
pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat -- di samping tetap adanya budaya
leluhur (primadona) -- menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang
khas. Bermula dari situ pulalah, konstruksi budaya Cirebon dibangun.
Sentuhan-sentuhan genetika budaya primordial yang beragam, secara demografis
memainkan peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan karakteristik, dan
sekaligus melahirkan budaya yang cenderung hibrid.
Demikianlah realitas budaya Cirebon. Identitas
yang hibrid itu kemudian diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk budaya
material, mulai dari kain (batik), seni boga, seni pertunjukan, hingga
bangunan-bangunan ibadah (Setiadi Sopandi), Kompas 16/3/03). Namun,
serapan-serapan budaya sering kali tidak hanya berbentuk seni, tetapi juga pada
kehidupan sehari-hari yang sifatnya sangat mendasar, seperti pada sistem
kepercayaan masyarakatnya.
Secara simbolik hibriditas kebudayaan Cirebon
tampak pada bentuk ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan
Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan
berbelalai gajah. Hal tersebut menyiratkan makna yang sangat mendalam bahwa
konstruksi kebudayaan Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni
kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).
Inilah realitas yang tak terbantahkan, Paksi
Nagaliman adalah simbol identitas budaya Caruban. Kata caruban itu sendiri yang
mengandung makna campuran, kelak kemudian menjadi cikal bakal nama daerah yang
didirikan oleh putra sulung Prabu Siliwangi, Walangsungsang. Dari kata Caruban
itu kemudian berubah ucapan menjadi Carbon, Cerbon, Crebon dan akhirnya Cirebon
sampai sekarang.
Kecenderungan kultural yang hibrid itu, seperti
telah disinggung di atas, tampak pada berbagai jenis kesenian tradisional.
Sebut saja Topeng Cirebon misalnya, terutama dalam unsur-unsur visualnya adalah
pengaruh budaya Cina. Dalam hal ini Saini KM mengungkapkan, betapa miripnya
hiasan kepala (tekes, siger) dan topeng (kedok) yang dikenakan oleh tokoh-tokoh
Topeng Cirebon dengan tokoh-tokoh Opera Peking. Memang, pengaruh budaya Cina
begitu kuat mewarnai bentuk-bentuk kesenian milik masyarakat Cirebon. Simak
saja batik Trusmi dan lukisan kaca, ornamentasi kedua bentuk karya seni rumpun
seni rupa itu (mega mendung dan wadasan) hasil adopsi dari motif-motif lukisan
Cina. Juga seni helaran Berokan mirip benar dengan seni pertunjukan Barongsay.
Harus diakui pula, dalam sistem kepercayaan masyarakatnya sekalipun atas
kehebatannya Sunan Gunung Jati yang telah menjadikan Islam sebagai basis
religi, tetapi apabila kita cermati lebih seksama, reduksi arkais budaya asli
dan Hindu bercampur menjadi bagian folkways (tradisi, adat kebiasaan) wong
Cerbon. Hal-hal semacam itu perwujudannya dapat kita lihat pada berbagai
peristiwa keadatan, seperti dalam upacara adat Ngunjung, Nadran, Bancakan,
Mapag Sri, Bubarikan, Mider tanah/Sedekah Bumi, dll. Tradisi yang sampai saat
ini dipertahankan dan dijalani oleh pewarisnya di berbagai wilayah budaya
Cirebon, secara sadar atau tidak mampu memunculkan pemandangan yang eksotik, di
mana aura sinkretisme begitu kental tampak dalam prosesi ritual tersebut.
Fenomena lain yang turut mempertegas hibriditas
budaya Cirebon adalah bahaya, di mana dalam sistem komunikasi masyarakatnya,
bahasa Cirebon merupakan campur aduk antara bahasa Sunda dan Jawa. Tentu saja
hal ini terjadi lebih merupakan sebagai akibat logis dari posisi Cirebon yang
secara geografis berada pada wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila masyarakat dan
kebudayaan Cirebon kemudian menempatkan diri dalam posisi ambivalen. Seperti
diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Faruk, di satu pihak
Cirebon dapat disebut sebagai daerah yang paling rendah tingkat aksesnya ke
dalam pusat kebudayaan dan kekuasaan di kedua wilayah Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Akan tetapi, di lain pihak, ia bisa pula dianggap sebagai suatu wilayah
yang paling bebas dari kontrol kedua pusat di atas.
Dari kecenderungan yang disebut terakhir,
masyarakat Cirebon relatif tidak memiliki beban kultural untuk menerima hal-hal
baru, yang asing sekalipun. Lalu mereka adaptasi menurut kebutuhan mereka
sendiri. Bahasa Cirebon tidak alergi terhadap ekspresi Sunda dan begitu
sebaliknya. Jangan heran jika orang Cirebon dapat berkomunikasi ya Nyunda ya
Njawa. Kelincahan imajinatif dalam memainkan berbagai kekuatan kultural dari
luar adalah sisi lain dari kelebihan masyarakat Cirebon dalam mengekspresikan
emosional estetisnya. Proses kreatif imajinatif seperti itu akhirnya kemudian
berimplikasi pada terbentuknya local colur dan sekaligus local genius budaya
Cirebon. Tarling, topeng Cirebon, dan lukisan kaca adalah contoh yang paling
nyata dari kecenderungan demikian. Ketiganya merupakan bentuk presentasi
artistik adaptif dari berbagai kekuatan kultural tersebut di atas. Yang paling
penting adalah tiga dari sekian banyak genre kesenian tradisional khas Cirebon
itu, hingga saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dan bahkan telah
menjadi aset nasional.
Tak ada alasan bimbang
Dalam konteks perbincangan di atas, tak ada
alasan bagi masyarakat Cirebon untuk merasa bimbang dan ragu akan jati dirinya,
terlebih lagi apabila sampai terjebak pada situasi yang inferior. Alasannya,
betapa pun letak wilayah Cirebon berada pada posisi "marginal", dalam
arti jauh dari pusat kebudayaan dan kekuasaan propinsial, tidak berarti
eksistensi masyarakat dan kebudayaan Cirebon menjadi tidak penting (periferal)
ke dalam posisi sentral. Hanya masyarakat pemilik kebudayaannya itu sendiri
lebih cenderung merasa sebagai komunitas yang terabaikan.
Sebaliknya, apabila jauhnya jarak geografis
wilayah Cirebon dari pusat kebudayaan dan kekuasaan itu mampu dibaca dan
dimaknai sebagai besarnya peluang untuk merdeka, bebas dari kontrol pusat untuk
menentukan hak berbudaya, semestinya wong Cerbon dapat dengan leluasa melakukan
berbagai eksplorasi sebagaimana yang dilakukan pendahulunya yang dengan segala
daya upaya mereka mampu menciptakan sebuah formulasi kultural dari berbagai
sistem kepercayaan yang tak ternilai harganya. Hibriditas budaya Cirebon adalah
realitas sejarah. Kenyataan itu telah diakui kalangan pemerhati kebudayaan
sebagai sebuah karya kolaborasi multikultural yang memiliki daya tarik
tersendiri. Oleh karena itu, hal yang paling urgen untuk dilakukan saat ini
adalah merekonstruksi sejarah Cirebon itu sendiri. Dengan demikian, upaya-upaya
pembaruan adalah tindakan yang patut dilakukan untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan menciptakan inovasi baru karena bagaimanapun sifat
dasar kebudayaan adalah perubahan. Kebudayaan senantiasa memperbaharui dirinya
seiring dengan perkembangan zaman.
Di sinilah pentingnya kreativitas, namun agar
tetap terjaganya daya survive, di samping dapt dikembangkan melalui dialog
dengan budaya-budaya lain, tapi yang utama tetap harus merujuk pada tradisi
sendiri, budaya primordial (leluhur). Dengan demikian, masyarakat Cirebon dapat
mendefinisikan dirinya sebagai masyarakat yang terbuka tanpa harus menafikan
adikarya nenek moyangnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar