Perbincangan tentang otonomi pendidikan yang
menghiasi media masa akhir-akhir ini, lebih dipumpunkan pada aspek makro.
Kelihatannya kita sibuk mengatur strategi menerjemahkan manajemen
pendidikan yang selama ini sentralistik menjadi manajemen pendidikan desentralistik
sesuai tuntutan otonomi daerah. Mendiknas sebagai penanggungjawab pendidikan
mengakui bahwa aturan tentang otonomi pendidikan belum ada. Para tehnokrat pendidikan di daerah sedang
dipusingkan oleh masalah struktur organisasi pendidikan, jabatan dan eselon.
Pembicaraan
tentang otonomi pendidikanpun lebih berkisar pada aras makro. Yakni posisi
pendidikan dalam master plan pembangunan daerah atau program
pembangunan daerah (Propeda). Sebenarnya kita sudah tahu bahwa keberhasilan
pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan seperti
dikatakan oleh Theodora Schultz (1960), Bawman (1966), Cain (1976) dan Singh(1986).
Konsep ini sesungguhnya telah mengilhami implementasi pendidikan di Indonesia
selama ini. Persoalannya, mengapa pendidikan kita belum mampu
meningkatkan kualitas SDM? Menurut saya, hal ini lebih disebabkan oleh political
will penguasa pada waktu itu. Selama 32 tahun di bawah penguasa ORBA
kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, bahkan pernah mencapai
tingkat pertumbuhan 6% sebelum pada akhirnya kita terjebak pada krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Anggaran pendidikan pada setiap APBN tidak pernah mencapai
10% dari total APBN. KTT pembangunan sosial di Copenhagen 1996 menganjurkan
besaran biaya pendidikan disetiap negara 20% dari total anggaran belanja
negara. Dalam tautan yang sama Unesco menetapkan biaya pendidikan pada setiap negara
sebesar 4% dari GDB. Kalau komitmen pemimpin bangsa kita terhadap pendidikan
yang tercermin dalam APBN sangat kecil, muncul pertanyaan, kualitas pendidikan
macam apa yang diinginkan? UNDP dalam human Development report tahun
2000 memaparkan tentang peringkat kualitas SDM Indonesia nerada diurutan
109 jauh dibawah Filipina (77), Thailand (61) Brunei (32), Korsel (30)
dan Singapura (24). Data di atas mengungkap bahwa kualitas pendidikan kita
masih sangat rendah.
OTONOMI
PENDIDIKAN
Pembicaraan
tentang otonomi pendidikan disetiap daerah kelihatannya lebih menumpu pada
soal dana atau anggaran pendidikan. Setiap daerah otonom memiliki kebebasan
menentukan besaran anggaran pendidikan dalam APBD. Fenomena empirik ini
sebenarnya agak menggelisahkan masyarakat pemerhati pendidikan. Kita sepertinya
terjebak pada soal uang saja, dan sepertinya uang adalah segala-galanya bagi
peningkatan kualitas pendidikan. Kita kadang-kadang lupa tentang proses
pendidikan itu sendiri. Kita sepertinya berasumsi kalau ada uang otomatis
kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Guru-guru menuntut peningkatan
kesejahteraan. Guru-guru juga menuntut penyediaan sarana pembelajaran yang
memadai yang semuanya bisa dipenuhi dengan uang. Kita juga seperti melupakan
motivasi belajar anak, pengabdian guru dan partisipasi masyarkat dalam
pendidikan.
Mestinya
kita perlu juga belajar dari sejarah pendidikan sejak jaman Hindu Purba, jaman
Islam, jaman kolonial Belanda dan jaman Jepang. Dengan segala keterbatasan,
proses pendidikan waktu itu menghasilkan kualitas SDM yang sangat tinggi. Kita
bisa lihat hasil karya Candi Borobudur, Candi Prambanan yang didirikan pada
masa itu. Kita juga bisa bertanya pada kakek atau nenek kita yang pernah
sekolah pada sekolah rakyat (SR) jaman Belanda (3 tahun). Mereka dapat
menguasai bahasa Belanda lisan dan tertulis. Kita juga bisa belajar pada
Filipina atau India. Kedua negara ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah dibanding Indonesia. Tapi kualitas pendidikan di kedua negara ini
lebih baik dari Indonesia. Hal substansial menurut saya terletak pada guru yang
mengelola proses belajar mengajar di kelas. Apakah proses belajar mengajar
kondusif untuk peningkatan kualitas SDM?
Saat ini
yang kita butuhkan bukan lagi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
tetapi pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.
Dan inti dari pelayanan pendidikan yang berkualitas terletak pada tanggungjawab
profesional guru. Gaji yang tinggi bukan merupakan tujuan orang menjadi guru.
Tetapi gaji hanya merupakan akibat dari rasa keterpanggilannya sebagai guru.
Profesi guru merupakan panggilan sekaligus penghakiman atas keterpanggilannya
itu. Kalau orientasi menjadi guru sudah mengalami perubahan paradigma, maka
proses pendidikan ibarat mengurai benang kusut.
Agak aneh,
di jaman tehnologi ini masih ada guru terutama di SMP, SMTA bahkan Perguruan
Tinggi yang sangat mengakrabi metode dikte. Lebih celaka lagi materi yang
didiktekan adalah materi pelajaran belasan tahun lalu. Penggunaan metode
dikte di jaman ini bisa dikategorikan sebagai proses pembodohan terhadap
peserta didik. Guru dalam kondisi seperti ini, masih mengclaim diri sebagai
sumber tunggal otoritas ilmu, sementara peserta didik diposisikan sebagai botol
kosong. Kalau kondisi obyektif ini tidak berubah, maka sebesar apapun anggaran
pendidikan yang disediakan, tetap akan sia-sia.
ANGGARAN
PENDIDIKAN
Usulan
Dirjen Pendidikan Tinggi untuk menetapkan pajak pendidikan, merupakan usulan
yang sangat menarik untuk dicermati. Di negara – negara maju, pajak
pendidikan dibayar oleh rakyat. Semua warga negara bertanggungjawab
terhadap pembangunan pendidikan. Karena itu semua warga negara wajib membayar
pajak pendidikan berdasarkan tingkat penghasilannya. Selama ini, kita kenal SPP
(sumbangan pembinaan pendidikan). Dalam pelaksanaannya, SPP menyerupai pajak
pendidikan.. Orang tua diwajibkan membayar SPP. Pada hal secara
substansial SPP adalah sumbangan. Konsep ini mengandung makna; tidak ada
paksaan, tidak ada kewajiban, tidak ada sanksi kalau orang tua tidak membayar
SPP. Konsep yang rancu ini mungkin segera diperbaiki, agar tidak
meninggalkan warisan sejarah pendidikan yang salah kepada generasi
berikutnya.
Hal lain yang menarik menurut saya, biaya pendidikan di daerah
kalau mungkin 10-20% diambilkan dari keuntungan BUMD. Pemerintah daerah
harus memiliki kiat khusus untuk membiayai pendidikan di daerah. Pemerintah
daerah dapat menunjuk BUMD tertentu untuk secara rutin membiayai keperluan
operasional pendidikan. Bagi daerah yang tidak memiliki BUMD yang prospektif,
maka dana operasional pendidikan mesti dialokasikan dari dana alokasi umum
(DAU). Buat apa menyimpan sisa DAU dalam jumlah besar di Bank, sementara mutu
pendidikan kita tidak beranjak dari tempat. Sudah saatnya tehnokrat pendidikan
di daerah menentukan apa yang terbaik untuk daerah, tanpa harus menunggu
petunjuk dari atas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar