1. KONDISI UMUM PENCAPAIAN
1.1 PENGEMBANGAN PERMUKIMAN
Diperkirakan pada akhir tahun
2014 lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan sebagai
akibat laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun dan secara terus menerus
telah melahirkan dynamic phenomenon of urbanization.
Proses ini berakibat pada semakin besarnya suatu kawasan perkotaan, baik dalam
hal jumlah penduduk maupun besaran wilayah atau tapak ekologis.
Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan kawasan berbasis agribisnis
melalui pengembangan sektor/komoditas unggulan pertanian/perikanan, dengan tujuan
untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal
berbasis agribisnis sehingga dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian
lokal di kawasan tersebut dan daerah belakangnya. Perkembangan kawasan Agropolitan
sampai dengan tahun 2008 telah mencapai 193 kawasan, yang tersebar di 33
provinsi di Indonesia. Target pencapaian
pembangunan perdesaan potensial melalui agropolitan pada tahun 2005-2009 adalah
347 kawasan, namun hingga saat ini baru tercapai pada 331 kawasan. Dari total
kawasan agropolitan, sebanyak 41 kawasan berada di Pulau Jawa dan sisanya
tersebar di luar Pulau Jawa. Provinsi 3-3 yang memiliki kawasan agropolitan
terbanyak adalah Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 11 kawasan.
Sementara itu pembangunan kawasan terpilih pusat pengembangan desa bertujuan untuk merangsang pertumbuhan
usaha-usaha ekonomi perdesaan melalui penyediaan berbagai fasilitas permukiman,
berupa fasilitas air bersih, persampahan, dan sanitasi di desa-desa yang
berpotensi untuk berkembang.
Sampai
dengan saat ini jumlah kawasan yang telah
difasilitasi sebanyak 660 kawasan, hal ini telah melebihi target Renstra
2005-2009 yang hanya berjumlah 584 kawasan,
sedangkan dukungan infrastruktur perdesaan hingga saat ini sudah
mencapai 22.647 desa dari 29.274 desa target Renstra 2005-2009. Selain peningkatan kualitas lingkungan permukiman tersebut diatas, hal
lain yang telah dilaksanakan
untuk mendukung pengembangan kawasan permukiman khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
adalah dengan memfasilitasi dukungan kawasan perumahan bagi PNS/TNI-Polri/Pekerja sebanyak 600.278 unit dari target Renstra
2005-2009 sebanyak 567.569 unit. Sementara itu penyediaan infrastruktur
permukiman bagi kawasan terpencil/pulau kecil dan terluar telah difasilitasi
sebanyak 29 Kab/Kota dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 11 Kab/Kota,
sedangkan penyediaan infrastruktur permukiman untuk kawasan perbatasan sebanyak
181 kawasan dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 92 kawasan.
Tingkat
pemenuhan kebutuhan rumah masih rendah.
Diperkirakan sampai dengan tahun 2020, rata-rata setiap tahun terdapat 1,15
juta unit rumah yang perlu difasilitasi.
Saat ini pembangunan/pengembangan rumah baru mencapai 600.000 unit per
tahun. Jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 4,3 juta
unit pada tahun 2000 menjadi 5,8 juta
unit pada tahun 2004 dan 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Kondisi tersebut
diperkirakan akan terus berakumulasi di masa yang akan datang akibat adanya
pertumbuhan rumah tangga baru rata-rata Berdasar
kualitas fisik bangunan, pada tahun 2007 rumah tangga Berdasar status penguasaan
tempat tinggal, pada tahun 2007 sebesar
820.000 unit rumah per tahun. Pemerintah telah melakukan berbagai fasilitasi
penyediaan perumahan dan permukiman bagi
masyarakat berpendapatan rendah melalui penyediaan
subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH), pengembangan kredit mikro perumahan, pembangunan rumah
susun sederhana sewa (rusunawa), fasilitasi pembangunan rumah susun sederhana
milik (rusunami) melalui peran serta swasta, fasilitasi pembangunan baru dan
peningkatan kualitas perumahan
swadaya.
a
yang menempati rumah berlantai
bukan tanah telah
mencapai 86,29
persen; beratap bukan daun
sebanyak 98,8 persen; dan berdinding permanen sebesar 87,6 persen. Selain itu, berdasar
kondisi bangunan tempat tinggal, rumah tangga yang menempati rumah dengan kondisi baik mencapai 45,94 persen, kondisi sedang
43,94 persen, kondisi rusak
9,25 persen, dan kondisi rusak berat 0,87 persen. Sementara itu
berdasarkan data SUSENAS tahun 2007
masih terdapat 5,9 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Jumlah rumah
saat ini hanya 51 juta unit. Dari jumlah tersebut hanya 17 juta rumah tergolong
layak huni dan 34 juta masih tergolong tidak layak huni yang terbagi sebanyak
40% di perdesaan dan 60% di perkotaan. terdapat 78,22
persen rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri, sisanya 21,78 persen menempati rumah bukan milik sendiri seperti
kontrak, sewa dan rumah orang tua. 3-5
Proporsi rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri di perkotaan
mencapai 32,98 persen jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan yang sebesar
13,28 persen. Semakin terbatasnya lahan dan harga rumah di perkotaan menyebabkan masyarakat cenderung untuk menempati rumah
sewa/kontrak. Proporsi rumah tangga yang
menempati rumah milik sendiri di perkotaan mengalami penurunan sebesar 2,71
persen dibandingkan kondisi pada tahun 2004 yang sebesar 80,93 persen.
Penurunan ini terkait erat dengan
peningkatan harga rumah dan penurunan daya beli masyarakat. Tingginya laju
pertumbuhan penduduk di perkotaan, keterbatasan lahan untuk pembangunan
perumahan dan permukiman serta meningkatnya harga lahan semakin mempersulit
akses masyarakat untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau di perkotaan.
Masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menempati lahan yang bukan miliknya
(ilegal) atau menempati hunian di pinggiran kota yang jauh dari lokasi
pekerjaan. Masih tingginya biaya
pengurusan serta keterbatasan informasi terhadap prosedur sertifikasi dan
rencana tata ruang mengakibatkan sebagian masyarakat menempati rumah tanpa
memiliki bukti legalitas pemanfaatan lahan dan bangunan serta tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Ditinjau dari
aspek kepastian jaminan bermukim, rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri
dan telah didukung oleh bukti hukum tanah berupa sertifikat dari Badan Pertanahan
Nasional (BPN), girik, maupun akta jual beli mengalami peningkatan dari 74,49
persen pada tahun 2004 menjadi 77,94 persen pada tahun 2007.
Penyerahan kewenangan pembangunan perumahan
yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah belum disertai dengan peningkatan
kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam memenuhi
standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan. Selain itu,
koordinasi antarlembaga masih belum berjalan dengan baik, salah satunya ditunjukkan dengan belum efektifnya fungsi Badan
Koordinasi Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Nasional
(BKP4N).
1. 2 PENATAAN BANGUNAN DAN
LINGKUNGAN
Penanganan bangunan gedung dan
lingkungan telah diupayakan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah
daerah melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi peraturan bidang bangunan gedung
dan lingkungan sebanyak 5 (lima) kali di setiap provinsi dengan target 495 kabupaten/kota;
pelatihan tenaga pendata harga dan keselamatan bangunan sebanyak 3.744 orang di
495 kabupaten/kota; pendataan dan pembinaan kelembagaan terkait bangunan gedung
di 495 kabupaten/kota pada 33 provinsi; pendataan kinerja pemerintah daerah di
43 kabupaten/kota pada 8 (delapan) provinsi; serta pendataan Peraturan Daerah (Perda)
terkait bangunan gedung di 495 kabupaten/kota pada 33 provinsi. Kondisi saat
ini juga mencatat telah tersusunnya perda tentang bangunan gedung di 15 kabupaten/kota
dan 1 provinsi (Bali) dari fasilitasi terhadap 221 kabupaten/kota. Selain itu,
telah disusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) di 203 kawasan pada
148 kabupaten/kota; Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan mencapai
41.988 kelurahan, hal ini telah melebihi target Renstra 2005-2009 sebanyak
40.648 kelurahan; Rencana Induk Sistem Proteksi kebakaran (RISPK) di 59 kabupaten/kota;
sistem ruang terbuka hijau telah ditangani di 150 kawasan di 33 kabupaten/kota;
revitalisasi kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional telah ditangani pada
297 kawasan di 137 kabupaten/kota; dan
peningkatan kualitas permukiman kumuh nelayan di 748 kawasan atau melebihi
target Renstra 2005-2009 yang menetapkan 733 kawasan.
Selain itu, dalam kurun waktu lima tahun
(2005-2009) sejumlah peraturan mengenai bangunan gedung dan penataan lingkungan
telah berhasil diselesaikan, diantaranya
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang merupakan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung. Disamping itu telah diterbitkan pula berbagai NSPK untuk Bangunan Gedung yang meliputi (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006
tentang Pedoman Persyaratan Teknis
Bangunan Gedung; (2) Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; (3) Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan; (4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007
tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung; (5) Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi
Bangunan Gedung;dan (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007
tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung.
1. 3 PENYEHATAN LINGKUNGAN
PERMUKIMAN
Proporsi penduduk terhadap sanitasi yang
layak secara nasional sampai dengan tahun 2009 mencapai
51,02% atau melayani sekitar 120
juta jiwa. Sementara itu target
Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 62,37% untuk dapat
melayani 154 juta jiwa. Saat ini proporsi penduduk rumah tangga perkotaan yang
sudah memiliki akses terhadap sanitasi
yang layak sebesar 69,55% atau 84
juta jiwa dari target MDGs 78,30%
dengan jumlah penduduk terlayani 115 juta jiwa pada tahun 2015. Sedangkan proporsi
penduduk rumah tangga di perdesaan yang sudah memiliki akses terhadap sanitasi
yang layak sebesar 34% pada tahun 2009 atau melayani 36 juta
jiwa sementara itu target MDGs
tahun 2015 sebesar 55,54% untuk melayani 39 juta jiwa.
Namun pencapaian
tersebut masih sebatas pada akses ke jamban dan toilet saja, belum pada akses
fasilitas sanitasi yang berkualitas dengan kriteria fasilitas tersebut masih
berfungsi dengan baik, digunakan sesuai dengan peruntukannya, dan sesuai dengan
standar kesehatan maupun standar teknis yang telah ditetapkan. Tercatat dari
data tahun 2007, banyaknya rumah tangga yang menggunakan tangki septik (praktek
pembuangan tinja aman) sebesar 49,13%, yaitu 71,06% di perkotaan dan 32,47% di perdesaan.
Sedangkan sisanya 50,86% rumah tangga melakukan praktek pembuangan tinja tidak
aman (di kolam/sawah, sungai/danau/laut, lubang tanah, pantai/kebun) dengan
prosentase di perkotaan 28,93% dan di perdesaan mencapai 67,54%. Perilaku praktik buang air besar sembarangan
(BABS) tersebut menunjukkan rendahnya kesadaran pelaku terhadap pentingnya
perilaku hidup 3-9 bersih dan sehat (PHBS). Rendahnya kesadaran pelaku akan
pengelolaan air limbah yang layak dan rendahnya utilisasi Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL) dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan penyebab
utama terjadinya pencemaran air permukaan.
Proporsi rumah tangga yang terlayani dengan sistem air limbah terpusat
skala kota telah mencapai 1 persen dan prosentase sistempelayanan air limbah
berbasis masyarakat telah dilakukan di 409 lokasi.
Selama periode 2004 hingga 2009 pembangunan
sistem air limbah terpusat skala kota telah dilakukan di Kota Denpasar melalui
pendanaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Selain itu, sistem pengolahan
air limbah terpusat (Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL) komunal telah
dibangun di 217 kota/kabupaten. Proporsi rumah tangga yang terlayani dengan sistem
pengolahan setempat dan sistem terpusat skala komunal adalah sebesar 69,3 persen
(daerah perkotaan sebanyak 81,8 persen dan perdesaan sebanyak 60 persen). Tingginya
angka cakupan tersebut diantaranya merupakan hasil dari kegiatan penyediaan
prasarana dan sarana air limbah berbasis masyarakat yang difasilitasi oleh
pemerintah bersama dengan lembaga swadaya masyarakat. Kepedulian Pemerintah
pada pengelolaan air limbah sekarang berada pada titik tertinggi sejak beberapa
tahun terakhir. Namun demikian, peningkatan alokasi pendanaan masih belum mampu
untuk membiayai total kebutuhan yang ada. Di sisi lain, skema-skema pembiayaan
yang bersumber dari non-pemerintah masih belum dikembangkan, termasuk kerja
sama dengan swasta, baik dalam bentuk investasi swasta maupun dana Corporate
Social Responsibility (CSR).
Institusi
pengelola air limbah di daerah saat ini masih belum menerapkan prinsip
manajemen yang baik, antara lain pada Perusahaan Daerah ditunjukkan dengan
belum adanya manajemen aset dan penyusunan business plan yang absah, serta
kurangnya dukungan sumber daya manusia yang berkualitas pada non-Perusda yang mengelola air limbah. Selain itu, masih
rendahnya kesediaan membayar
(willingness to pay) dari masyarakat untuk pelayanan air limbah domestik
dan subsidi pemerintah yang tidak dapat
diandalkan menjadikan pengelola tidak
dapat menutup biaya pelayanannya secara penuh (full-cost recovery). Saat ini payung kebijakan yang mendukung
pengelolaan air limbah hanya berupa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
yaitu pasal 21 ayat (2), yang menyatakan bahwa perlindungan dan pelestarian
sumber air salah satunya dilakukan melalui
pengaturan sarana dan prasarana sanitasi. Hampir seluruh kota di Indonesia
tidak mempunyai pemetaan terhadap
kebutuhan infrastruktur dan layanan air limbah serta tidak tersedianya rencana
rinci terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini mengakibatkan tidak adanya
prioritas serta pentahapan yang jelas mengenai pembangunan dan rehabilitasi
sarana dan prasarana air limbah.
Dari sisi perencanaan, tengah dikembangkan
penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) agar pemerintah daerah memiliki dasar
bagi pembangunan sanitasi bagi daerahnya masing-masing. Meningkatnya intensitas curah hujan dalam
interval waktu yang semakin pendek yang disebabkan perubahan iklim akibat efek pemanasan global (global warming)
dan semakin berkurangnya bidang resapan menjadi faktor penyebab semakin
tingginya debit limpasan hujan yang harus ditampung oleh saluran drainase. Belum
optimalnya fungsi drainase sebagai pematus air hujan yang mengakibatkan
timbulnya genangan, merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam
pembangunan drainase. Kelangkaan lokasi
untuk pembuangan sampah serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah
pada tempatnya menjadikan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah. Berdasarkan
data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 sebanyak 11,34% rumah
tangga masih membuang sampah ke kali/selokan yang menyebabkan mampatnya saluran
drainase sehingga menurunkan fungsi
saluran drainase yang berimplikasi pada peningkatan luasan kawasan
tergenang. Di sisi lain banyak dijumpai
pula bahwa fungsi saluran drainase tidak tegas apakah untuk mengalirkan kelebihan air permukaan atau juga
berfungsi sebagai saluran air limbah. Pembuangan air limbah domestik dan air
limbah industri rumah tangga ke dalam saluran drainase menyebabkan peningkatan
debit air pada saluran drainase.
Perencanaan
sistem pengelolaan drainase belum didasari dengan adanya suatu rencana induk
pengelolaan sistem drainase yang absah. Selain itu, perencanaan sistem drainase
saat ini juga belum mengintegrasikan antara
sistem drainase primer, sekunder, dan tersier. Sementara itu, ketidakjelasan
pengelola sistem drainase, menyebabkan pengabaian kondisi saluran drainase dan
minimnya alokasi dana yang dianggarkan untuk operasi dan pemeliharaan sistem.
Terbatasnya anggaran pemerintah baik untuk investasi, operasi dan pemeliharaan
sistem drainase menjadikan pengelolaan drainase belum berjalan secara
optimal. Pada sektor persampahan,
pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) masih
rendah. Rata-rata volume sampah
diperkirakan mencapai 74 juta ton/tahun. Namun dari total timbulan sampah tersebut,
proporsi sampah terangkut hanya mencapai
20,63 persen. Belum adanya rencana induk pengelolaan sampah menjadikan
belum tersedianya profil dan rencana penanganan sampah di tingkat kabupaten/kota.
Ketiadaan rencana induk juga mengakibatkan tidak bersinerginya sistem
pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
pemerintah dengan sistem pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat,
sehingga penanganan sampah belum terintegrasi utuh mulai penanganan dari sumber
hingga ke TPA.
Sementara upaya
meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar sampai
saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Banyak TPA yang tidak
didesain sebagai sanitary landfill atau mengalami perubahan sistem dari sanitary landfill dan/atau
controlled landfill menjadi open dumping. Sementara jumlah Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) yang menerapkan
sanitary landfill mencapai 10 TPA; dan yang menerapkan controlled
landfill sebanyak 55 TPA, sehingga
secara umum belum dikelola menggunakan pendekatan yang ramah lingkungan. Namun
demikian telah dibangun TPA berbasis
Clean Development Mechanism di 2 (dua) lokasi dan sedang dalam tahap
persiapan di 11 lokasi. Dari sisi regulasi, pada tahun 2008 telah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mewajibkan
seluruh TPA dikelola secara sanitary landfill
sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas layanan pengelolaan
sampah. Akan tetapi, implementasi Undang-Undang
tersebut masih terkendala karena belum tersedianya peraturan-peraturan
pendukungnya. Institusi pengelola sampah di daerah saat ini masih belum
berfungsi secara profesional, antara lain ditunjukkan dengan belum adanya
manajemen aset dan penyusunan business
plan yang absah pada Perusahaan Daerah,
sedangkan Hal ini terlihat dari jumlah TPA di seluruh Indonesia yang mencapai
378 buah dengan luas 1,886.99 Ha, sebanyak 80,6% masih menerapkan metode open dumping, 15,5% menggunakan metode controlled landfill dan hanya 2,8% yang menerapkan metode sanitary landfill. Hingga saat ini penanganan
sampah masih terfokus pada penanganan timbulan sampah, dan belum pada
pengurangan volume sampah dari sumbernya.
Upaya untuk mengurangi kuantitas sampah sebesar 20% pada periode
2004–2009 juga masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Demikian juga
halnya dengan infrastruktur pengelolaan
persampahan yang ada ternyata tidak sebanding dengan kenaikan timbunan sampah
yang meningkat 2–4% per tahun, diperburuk dengan semakin sulitnya mendapatkan
lahan untuk dimanfaatkan sebagai TPA. Sedangkan di sisi yang lain percontohan
program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) saat ini masih terbatas di 80 kawasan.
Rendahnya kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah dalam menerapkan prinsip
3R menyebabkan pengurangan volume timbulan sampah kurang signifikan. Selain
itu, upaya pengurangan timbulan sampah melalui pemanfaatan teknologi pengolahan
sampah belum dikembangkan. permasalahan
yang muncul pada dinas pengelola sampah bahkan lebih menyeluruh baik berupa
alokasi dana yang minim, manajemen yang kurang profesional dan minimnya
kualitas sumber daya manusia. Hingga saat ini, sumber pendanaan bagi pengelolaan
sampah masih bertumpu pada anggaran pemerintah akibat belum dikembangkannya
alternatif sumber pendanaan lainnya, seperti dana masyarakat, kerjasama swasta,
baik investasi swasta maupun dana CSR.
Secara keseluruhan sampai saat ini prosentase sistem pengelolaan persampahan
telah mencapai 54%, masih di bawah target RPJMN (75% pada 2009) dan MDGs (70%
pada 2015).
1.4 PENGEMBANGAN AIR MINUM
Cakupan pelayanan air minum perpipaan secara nasional
sampai dengan tahun 2009 sebesar 25,61%, sedangkan capaian pelayanan
non-perpipaan terlindungi sebesar 22,02%, sementara itu
total akses aman pelayanan air minum secara nasional mencapai
47,63%1 atau dapat melayani 59 juta jiwa. Untuk capaian cakupan pelayanan air
minum perpipaan kota pada tahun
2009 sebesar 35.03% atau telah dapat melayani 44 juta jiwa dari target MDGs
47,38% tahun 2015, sementara itu capaian pelayanan non-perpipaan terlindungi
sebesar 14,76%, sedangkan total akses aman pelayanan air minum perpipaan kota
sebesar 49,79%2. Sedangkan capaian pelayanan air minum perpipaan desa sebesar 14,29% atau telah
dapat melayani 15 juta jiwa pada
tahun 2009 dari target MDGs sebesar 19,76% tahun 2015, sementara itu capaian pelayanan
non-perpipaan terlindungi sebesar 31,36%, sedangkan total
akses aman pelayanan air minum perdesaan sebesar 45,65%3.
1 Sumber: Data BPS 2009
2 Sumber: Data BPS 2009
3 Sumber: Data BPS 2009
Akses air minum perpipaan
mengalami stagnasi selama kurun waktu 1994-2006, hanya bertambah sekitar 2,18
persen. Pada tahun 2006 yang memiliki akses terhadap sistem perpipaan (PDAM)
telah mencapai 18,38 persen dan akses terhadap
sistem non-perpipaan terlindungi sebesar 43,57 persen. Pada tahun 2007
pelayanan air minum perkotaan baru mencapai 45% dan perdesaan 10%, sehingga
cakupan pelayanan air minum perpipaan nasional menjadi sebesar 20%. Di tahun
2009 cakupan pelayanan air minum di perkotaan meningkat menjadi 47,23% (44,5
juta jiwa) dari 41% di tahun 2004 (34,36 juta jiwa) sementara di perdesaan
telah meningkat dari 8% di tahun 2004 (melayani 10,09 juta jiwa), menjadi 11,55%
di tahun 2009 (15,2 juta jiwa). Disisi
lain, menurut laporan regional terakhir mengenai status pencapaian MDGs untuk
kawasan perdesaan, akses masyarakat terhadap sistem pelayanan air bersih non-perpipaan
meningkat dari 38,2% (1994), menjadi 43,4% (2000) dan 57,2% (2006).
Selain itu, penyediaan air minum berbasis
masyarakat yang berpedoman pada Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat saat ini telah berkembang dengan
pesat. Kegiatan penyediaan air minum berbasis masyarakat telah dilaksanakan di hampir seluruh wilayah
Indonesia dengan menggunakan pendanaan yang bersumber dari anggaran pemerintah
maupun pihak lain, seperti lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta
(melalui kegiatan Corporate Social
Responsibility) dan masyarakat. Namun dalam implementasinya masih menemui 3-15
kendala yakni ketiadaan peraturan yang mengatur pola kerjasama pemerintah dan
masyarakat. Faktor lainnya adalah kualitas sumber daya manusia pada lembaga pengelolanya
juga masih rendah. Demikian pula halnya
keterlibatan swasta hingga tahun 2009 masih tergolong rendah, khususnya
pada penyediaan prasarana air minum di wilayah perdesaan dan pinggiran kota. Skema kerjasama pemerintah dengan swasta
(KPS) hingga saat ini belum banyak dilaksanakan oleh pemda maupun PDAM.
Rendahnya kinerja keuangan PDAM juga
menyebabkan PDAM mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan dari
pihak lain, seperti lembaga donor maupun pihak perbankan. Sementara sumber
pendanaan dari pihak swasta seperti dana
Corporate Social Responsibility
(CSR) masih belum menjadi sumber yang signifikan sehingga pendanaan air
minum masih bertumpu pada anggaran Pemerintah. Pada periode 2005-2009 telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan
Air Minum sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. Dalam pelaksanaannya telah dirumuskan Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, termasuk diantaranya
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM), sehingga sistem penyediaan air minum yang
efektif dan berkesinambungan telah memiliki rujukan strategis yang jelas. Dalam
sektor ini upaya pembinaan terhadap PDAM belum memperlihatkan hasil yang
signifikan. seperti tergambar dari 340 PDAM, sekitar 70% kondisinya masih tidak
sehat. Ini berarti hanya 79 PDAM yang sehat, sehingga pada tahun 2008, utang
non pokok PDAM yang dinyatakan sakit yang mencapai Rp. 3,3 triliun terpaksa dihapuskan.
Demikian halnya dengan utang PDAM yang dikategorikan sehat juga dihapus melalui
skema debt to swap investment yang mencapai Rp. 1,1 triliun. Dengan demikian,
jumlah keseluruhan hutang yang dihapus mencapai Rp. 4,4 triliun. Salah satu penyebabnya adalah sebagian besar
PDAM masih menerapkan tarif dasar di bawah biaya produksi air minum. Disamping
juga kapasitas sumber daya manusia dan pendanaan yang belum memadai, belum
diterapkannya prinsip full-cost recovery
dan manajemen aset sebagai prasyarat manajemen yang baik, serta belum
disusunnya business plan yang
absah. Sementara kinerja pengelola air
minum dengan target penurunan angka kebocoran secara nasional baru pada kisaran
6-7% sehingga masih diperlukan upaya
keras untuk mencapai angka 20% yang ditargetkan sebagai angka kebocoran secara
nasional oleh RPJMN 2005-2009. Secara total saat ini belum mampu terpenuhi,
termasuk kualitas air minum PDAM masih belum memenuhi standar yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan.
Tidak terolahnya limbah domestik dan non-domestik
menjadi penyebab utama menurunnya kualitas air baku air minum. Sementara itu,
pemanfaatan air yang belum efisien dan masih minimnya pengelolaan air baku pada
wilayah hulu dan/atau daerah resapan menjadi penyebab semakin berkurangnya
kuantitas air baku air minum. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang kurang bersinergi dengan konsep
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan pemanfaatan ruang
cenderung mengabaikan keberlanjutan ketersediaan air baku bagi daerah hilir.
Selain itu, ekstraksi air tanah secara berlebihan oleh rumah tangga dan industri
turut mempengaruhi kuantitas dan kualitas air baku. Penerapan teknologi untuk pemanfaatan sumber
air alternatif juga belum dijadikan sebagai suatu upaya alternatif dalam menjaga
kuantitas dan kualitas air baku.
1.4 PERMASALAHAN UMUM
Permasalahan dan kondisi
pembangunan prasarana dan sarana bidang Cipta Karya terdiri dari
permasalahan umum serta permasalahan spesifik untuk setiap sektor
bidang Cipta Karya (air minum, sanitasi, pengembangan permukiman, penataan bangunan dan lingkungan). Adapun permasalahan umum
dalam pembangunan prasarana dan sarana bidang Cipta Karya yang utama
terdiri dari :
a. Tingkat urbanisasi yang
relatif tinggi dan belum disertai oleh tingkat kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan infrastruktur yang diakibatkan oleh pertumbuhan urbanisasi tersebut
maupun oleh ”backlog” yang sudah ada sebelumnya.
b. Adanya disparitas regional secara ekonomi, dan hal ini sangat
terkait dengan tidak meratanya ketersediaan infrastruktur dan layanan bidang Cipta-Karya.
c. Demikian pula, ketersediaan
infrastruktur dan layanan ke-Cipta-Karya-an belum merata ke semua golongan
masyarakat (umumnya, golongan masyarakat berpenghasilan rendah belum mendapat
layanan yang setara dengan layanan bagi golongan masyarakat berpenghasilan
menengah dan atas).
d. Degradasi lingkungan
perkotaan pada umumnya, dan belum berperannya secara maksimal pembangunan
bidang ke-Cipta-Karya-an dalam turut menciptakan kota-kota yang asri dan
lestari (berkelanjutan).
e. Wajah fisik perkotaan yang
semakin ”semrawut” akibat belum maksimalnya perencanaan dan penerapan
tata-bangunan dan lingkungan kawasan perkotaan.
f. Keterbatasan kapasitas
daerah dalam penyelenggaraan infrastruktur ke-Cipta-Karya-an padahal bidang ini
sudah menjadi salah satu urusan wajib dari pemerintah daerah.
1.6 PERMASALAHAN PER SEKTOR
a. Pengembangan Permukiman.
i. Masih
luasnya kawasan kumuh.
ii. Masih terbatasnya Prasarana
Sarana Dasar pada Daerah Tertinggal, Pulau Kecil, Daerah Terpencil, dan Kawasan
Perbatasan.
iii. Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan
Potensial.
b. Penataan Bangunan dan Lingkungan.
i. Penataan Lingkungan Permukiman.
• Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana
sistem proteksi kebakaran.
• Belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk
lebih melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur
guna pengembangan lingkungan permukiman.
• Menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi
utama kota, kawasan tradisional bersejarah serta heritage.
• Masih rendahnya dukungan
pemda dalam pembangunan lingkungan permukiman yang diindikasikan dengan masih
kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas lingkungan dalam
rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal.
ii. Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah
Negara.
• Masih adanya kelembagaan
bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien dalam pengelolaan
Bangunan Gedung dan Rumah Negara.
• Masih kurangnya perda
bangunan gedung untuk kota metro, besar, sedang, kecil di seluruh Indonesia.
• Meningkatnya kebutuhan NSPM terutama
yang berkaitan dengan pengelolaan dan
penyelenggaraan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan).
iii. Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka
Hijau.
Masih kurang diperhatikannya
kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah raga.
iv. Kapasitas Kelembagaan Daerah.
• Masih terbatasnya kesadaran
aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung
termasuk pengawasan.
• Masih adanya tuntutan
reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan pelaksanaan otonomi dan
desentralisasi.
• Masih perlunya peningkatan
dan pemantapan kelembagaan bangunan gedung di daerah dalam fasilitasi
penyediaan perangkat pengaturan.
c. Penyehatan Lingkungan Permukiman.
i. Sektor Air Limbah.
•
Belum optimalnya penanganan air limbah.
•
Tercemarnya badan air khususnya air baku oleh limbah.
•
Belum optimalnya manajemen air limbah.
-
Belum optimalnya perencanaan.
-
belum memadainya penyelenggaraan air limbah.
ii. Sektor Drainase.
•
Kapasitas sistem drainase tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
•
Belum memadainya penyelenggaraan sistem drainase.
iii. Sektor Persampahan.
• Makin tingginya timbulan
sampah (jumlah penduduk makin tinggi, jumlah sampah per kapita meningkat).
•
Belum optimalnya manajemen persampahan.
-
belum optimalnya sistem perencanaan (rencana sampai dengan monitoring
dan evaluasi).
-
belum memadainya pengelolaan layanan persampahan (kapasitas, pendanaan
dan aset manajemen).
-
belum memadainya penanganan sampah.
d. Pengembangan Air Minum.
i. Kelembagaan dan peraturan perundangan.
•
Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggara air minum
di daerah.
• Mindset penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam
pelayanan air minum masih harus dirubah.
• Lemahnya fungsi
lembaga/dinas di daerah terkait penyelenggaraan SPAM sehingga peran pembinaan
pengembangan SPAM menjadi sangat lemah.
• Prinsip pengusahaan belum
sepenuhnya diterapkan oleh penyelenggara SPAM
(PDAM), termasuk rekruitmen SDM belum terpadu dengan program
pengembangan SDM Penyelenggara SPAM.
• Pemekaran wilayah di beberapa
kabupaten/kota mendorong pemekaran badan pengelola SPAM di daerah.
ii. Terbatasnya pendanaan.
• Penyelenggaraan SPAM
mengalami kesulitan dalam masalah pendanaan untuk pengembangan, maupun operasional
dan pemeliharaan yang diantaranya disebabkan oleh masih rendahnya tarif dan
masih tingginya beban utang.
• Investasi untuk pengembangan
SPAM selama ini lebih tergantung dari pinjaman luar negeri daripada mengembangkan
alternatif pendanaan dalam negeri.
• Komitmen dan prioritas
pendanaan dari pemerintah daerah dalam pengembangan SPAM masih rendah.
iii. Menurunnya kuantitas air baku.
• Kapasitas daya dukung air
baku di berbagai lokasi semakin terbatas akibat pengelolaan daerah tangkapan
air yang kurang baik.
• Kualitas sumber air baku
semakin menurun akibat meningkatnya aktivitas dan kegiatan masyarakat dan industri
tidak disertai dengan perlindungan terhadap lingkungan.
• Adanya peraturan perijinan
penggunaan air baku di beberapa daerah yang tidak selaras dengan peraturan yang
lebih tinggi sehingga pemanfaatan air baku yang lintas wilayah seringkali
menimbulkan konflik.
• Belum mantapnya alokasi
penggunaan air baku sehingga menimbulkan konflik kepentingan di tingkat
pengguna.
iv. Masih rendahnya cakupan dan kualitas
pelayanan.
• Tingkat kehilangan air pada
sistem perpipaan berkisar antara 10%-50% dengan kehilangan rata-rata sekitar 37%
pada tahun 2004 dan tekanan air pada jaringan distribusi umumnya masih
rendah.
• Pelayanan air minum melalui perpipaan
masih terbatas untuk masyarakat menengah ke atas di perkotaan, sementara
pelayanan air minum untuk masyarakat miskin selain belum memadai, juga harus membayar
lebih mahal.
v. Masih rendahnya partisipasi masyarakat dan
dunia usaha dalam penyelenggaraan air minum.
e. Pengembangan Kelembagaan.
i. Belum
optimalnya perencanaan pengembangan sumber daya manusia.
ii. Belum memadainya struktur
organisasi yang responsif terhadap tantangan pembangunan bidang Cipta Karya.
iii. Belum tersusunnya tata
laksana organisasi yang sesuai dengan prinsip good governance untuk
meningkatkan daya saing kota/kabupaten.
iv. Belum efektifnya pengembangan tim koordinasi pembangunan kota/kabupaten/provinsi dalam pengembangan prasarana bidang Cipta Karya.
1.7
TANTANGAN
Berdasarkan permasalahan dan
kondisi yang ada, maka tantangan dalam pembangunan infrastruktur permukiman
adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan keterpaduan
pembangunan prasaranan dan sarana bidang
permukiman (Cipta Karya).
b. Meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap aspek kesehatan.
c. Memperluas akses
pelayanan prasarana dan sarana bidang permukiman (Cipta Karya).
d. Meningkatkan
keterlibatan dunia usaha (swasta)
dan masyarakat dalam pendanaan pembangunan prasarana dan sarana bidang permukiman (Cipta Karya).
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut