Pembangunan
infrastruktur bidang Cipta Karya
(Permukiman) mempunyai manfaat langsung untuk peningkatan taraf hidup
masyarakat dan kualitas lingkungan, karena semenjak tahap konstruksi telah
dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekaligus menggerakkan sektor
riil. Sementara pada masa layanan, berbagai
multiplier ekonomi dapat
dibangkitkan melalui kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur.
Infrastruktur bidang Cipta Karya
(Permukiman) yang telah terbangun
tersebut pada akhirnya juga memperbaiki kualitas permukiman.
Dengan demikian, pembangunan infrastruktur
bidang Cipta Karya (Permukiman)
pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai 3 (tiga) strategic goals yaitu: a) meningkatkan pertumbuhan
ekonomi kota dan desa, hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan peran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi desa dan
meningkatkan akses infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi lokal; b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimaksudkan
untuk mengurangi kemiskinan dan
memperluas lapangan kerja; c)
meningkatkan kualitas lingkungan, yang
bermaksud untuk mengurangi luas kawasan
kumuh, meningkatkan kualitas
penyelenggaraan penataan kawasan permukiman dan meningkatkan pelayanan
infrastruktur permukiman. Untuk mewujudkan tiga
strategic goal di atas tugas
pembangunan infrastruktur bidang
Cipta Karya (Permukiman) diwujudkan
dengan dua pendekatan: i)
pendekatan skala kabupaten kota melalui tugas pengaturan, pembinaan dan
pengawasan bidang permukiman;
ii) pendekatan skala kawasan melalui
tugas pembangunan infrastruktur bidang
permukiman.
ISU STRATEGIS
Isu Strategis Pembangunan Bidang
Cipta Karya 2010-2014 meliputi isu-isu baru
dan penting yang diperkirakan akan memberikan dampak potensial bagi pelayanan
prasarana dan sarana permukiman bidang Cipta Karya pada kurun waktu lima tahun
mendatang, yaitu meliputi:
a. Proporsi penduduk perkotaan yang bertambah
Saat ini arus urbanisasi perkotaan mengalami
peningkatan yang amat tajam. Proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan
meningkat dari 35,9 persen pada tahun 1995 menjadi 48,3 persen pada 2005.
Diperkirakan tren yang berkembang akan terus
terjadi sehingga sebelum tahun 2010 jumlah penduduk perkotaan secara nasional
telah melampaui jumlah penduduk perdesaan, dan diperkirakan pada tahun 2025
nanti 68,3 persen penduduk Indonesia akan mendiami kawasan perkotaan. Fenomena
ini bisa kita sikapi melalui dua pendekatan, yaitu sebagai sinyalemen berkembangnya
aktivitas di perkotaan yang tentunya merupakan indikasi bangkitnya perekonomian
negara. Tetapi di sisi lain, hal ini juga
mengindikasikan kuatnya pengaruh kota, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan
wilayah yang tidak konstruktif antara kota besar-kota menengah atau antara
kota-desa. Proses urbanisasi yang terjadi saat ini lebih banyak
didorong oleh terbatasnya lapangan kerja
di daerah perdesaan.
b. Angka kemiskinan perkotaan yang masih tinggi.
Urbanisasi yang tinggi seringkali
diikuti oleh meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, akibat ketiadaan
lapangan pekerjaan, tingginya standar kehidupan di perkotaan dan lain sebagainya. Di tahun 2006 angka
kemiskinan di kawasan perkotaan naik menjadi 14,29 juta jiwa dari sebelumnya
sebesar 12,4 juta jiwa penduduk pada tahun 2005. Jumlah penduduk miskin yang
besar dapat berakibat pada meluasnya kawasan kumuh di perkotaan yang berujung
pada ketidakmampuan pemerintah kota menuju kota yang layak huni. Saat ini
sekitar 18% atau 21,25 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di kawasan kumuh
yang terletak di kawasan perkotaan dengan luas mencapai sekitar 42.500
Hektar. Data BPS
menunjukkan bahwa sekitar 14 % dari total perumahan di Indonesia
merupakan kawasan kumuh perkotaan, yang rata-rata terletak di bantaran sungai
dan tepi pantai. Hal ini menjadi perhatian utama dalam rangka pencapaian MDG
tujuan ke tujuh yaitu memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sasaran ke
11; Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di
pemukiman kumuh pada tahun 2020. Kenyataannya rata-rata kawasan kumuh terletak
di perkotaan, maka oleh karena itu Pemerintah menaruh perhatian besar pada
penanganan kawasan kumuh di kawasan perkotaan.
c. Kota Sebagai Engine of Growth
Perkembangan ekonomi perkotaan
terkait dengan perkembangan ekonomi nasional dan juga sebaliknya. Dalam studi
yang dilakukan Bappenas di tahun 2003 dikemukakan peranan perkotaan yang sangat
signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya peranan
kota-kota besar dengan jumlah penduduk
di atas 700 ribu dan kota menengah dengan jumlah penduduk antara 200 ribu dan
700 ribu. Kota-kota besar dan menengah yang berjumlah 37 kota, atau 9% dari
total jumlah daerah, mempunyai sumbangan 40% dari total Produk Domestik Bruto
(PDB) nasional. Sedangkan bila dipisahkan kota-kota besar saja, yang hanya berjumlah 14 kota saja, atau hanya 3,4% dari total
jumlah daerah, mampu menyumbang 30% dari total PDB nasional. Berdasarkan data-data
di atas sudah sangat jelas bahwa kota merupakan motor dari pertumbuhan
ekonomi nasional. Oleh karena itu,
ketika terjadi krisis ekonomi, kota sebagai “back bone” dari kerangka ekonomi nasional juga mengalami
kontraksi yang parah.
d. Desentralisasi
Era desentralisasi yang berjalan
membawa dampak yang teramat besar bagi perkembangan perkotaan di Indonesia.
Perubahan ini terlihat pada beberapa kota yang perkembangannya bergerak
menjadi lebih besar. Perkembangan ini dikhawatirkan
akan menimbulkan persoalan internal dan eksternal kota. Persebaran kota di
Indonesia saat ini lebih banyak terpusat di Pulau Jawa, dengan 32 dari 91 kota
administratif berada di pulau Jawa.
Angka ini bisa bertambah apabila kita mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan
yang merupakan kawasan perkotaan terletak di wilayah administratif Kabupaten.
Pembangunan perkotaan yang pada awalnya dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah
Pusat berubah. Saat ini Pemerintah Daerah memegang peranan utama dalam
mengarahkan pembangunan perkotaan. Implikasi dari ini, strategi pembangunan
perkotaan yang skala nasional tidak bisa serta merta diimplementasikan ke
daerah. Pola pembangunan perkotaan saat ini tentunya menekankan kepada
optimalisasi sumber daya lokal yang kompetitif. Di satu sisi, Desentralisasi
berhasil membawa Pemerintah Daerah dalam nuansa kompetisi yang kondusif untuk
mendorong pembangunan perkotaan di masing-masing daerah. Akan tetapi di sisi
lain, pembangunan yang ekspansif dan tidak terencana justru membahayakan daya
dukung kota, terutama di Kota Besar dan Metropolitan.
e. Kerusakan Lingkungan Hidup
Kerusakan lingkungan hidup
perkotaan berkaitan dengan meningkatnya penggunaan ruang dan sumber daya alam
di permukaan, di bawah dan di atas tanah kawasan perkotaan yang tidak
terkendali. Misalnya, penggunaan air tanah yang sudah berlebihan menyebabkan
sulitnya masyarakat memperoleh air bersih, sementara penyediaan air bersih oleh
PDAM belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Pemenuhan kebutuhan
air bersih oleh masing-masing rumah tangga
sekarang sudah ini mengharuskan pemasangan pipa penyedot
sampai 2-5 puluhan meter di bawah tanah, hal tersebut terasa sulit terutama di
lingkungan perumahan padat penduduk seperti kawasan perumnas dan BTN, yang kavling
tanahnya kecil-kecil. Demikian pula dengan masalah lalu-lintas di kawasan
perkotaan yang belum dapat tertangani dengan baik, sehingga kemacetan
lalu-lintas dan kecelakaan lalu-lintas sudah menjadi pemandangan umum
sehari-hari. Persoalan tersebut merupakan bagian dari persoalan pemborosan
potensi kemampuan Pemerintah Daerah dalam pembangunan perkotaan. Fakta lain
yang cukup menonjol yang sedang terjadi sekarang ini adalah adanya kota-kota
baru dari semula berupa pusat-pusat permukiman
transmigrasi. Kecenderungan ini tentunya akan memakan anggaran
pembangunan, yang mungkin saja tidak sebesar biaya yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kapasitas pelayanan perkotaan yang sudah ada, selain berpotensi
merusak keasrian lingkungan hidup.
f. Daya Saing Kota dan Demokratisasi
Di era globalisasi saat ini,
kota-kota di Indonesia tidak hanya harus bersaing dengan kota di dalam negeri
semata, persaingan terjadi dengan kota-kota di skala Asia bahkan dunia. Bentuk
persaingan pun bergeser dari yang sebelumnya berkutat pada comparative advantage menuju ke era competitive advantage. Di masa lalu, daya
saing sebuah kota ditentukan oleh jumlah tenaga kerja (sumber daya manusia) dan
sumber daya alam yang dimiliki. Saat ini variabel bertambah menjadi tingkat kelayakhunian
kota yang direpresentasikan dalam infrastruktur pendukung dan pelayanan
perkotaan. Sebuah kota harus mampu berlomba-lomba menunjukkan tidak hanya
sebagai sebuah kota yang layak huni akan tetapi sebuah kota yang mampu mengedepankan
nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan kesehariannya. Nilai-nilai demokrasi
harus mampu diterjemahkan oleh
masing-masing kota. Hal-hal inilah yang kemudian memberikan nilai tambah
dan daya saing bagi sebuah kota untuk menarik investasi dari luar.
g. Konteks Kota Berkelanjutan
Dilihat dari aspek equity
dapat dikatakan kondisi perkotaan di Indonesia masih cenderung pada
kondisi in-equity. Kota-kota baru dengan
pelayanan yang luar biasa, dengan kualitas yang baik, namun di lain pihak masyarakat
miskin harus membayar lebih dalam memperoleh pelayanan perkotaan. Aspek budaya,
dalam konteks diversity, perlu menjadi
pertimbangan dalam pembangunan.
Diversity masyarakat perkotaan
yang tinggi harus dapat diakomodasi oleh pelayanan perkotaan. Urban heritage saat ini
masih dapat dikategorikan belum
concern terhadap bangunan bersejarah.
Ekologi (dalam kualitas lingkungan yang perlu dipertahankan) dan ekonomi kota
diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang, dengan daya beli masyarakat yang
cukup dalam memenuhi kehidupan yang layak.
h. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan
tantangan bagi kita, dan memang tidak hanya sekarang, namun ini perlu diperhitungkan
secara cermat dalam konteks pembangunan perkotaan. Dampak perubahan iklim dengan
intensitas hujan yang meningkat, dan meningkatnya permukaan air laut, dapat
menyebabkan permasalahan tersendiri. Peran infrastruktur menjadi penting dalam
mitigasi perubahan iklim. 2-7
i. Perwujudan RTH 30%
Upaya perwujudan RTH sebesar 30%
merupakan tantangan besar, komposisi 30% memang merupakan kebijakan yang
kondusif bagi lingkungan, namun di lain pihak dianggap merupakan permasalahan
yang signifikan dalam menyelenggarakan pembangunan perkotaan. Ini merupakan
salah satu tantangan dari perundangan yang menjadi masalah dalam tataran
implementasi.
j. Modal Sosial
Dalam konteks pembangunan
perkotaan saat ini yang menjadi masalah bukan pada modal finansial, namun perlu
dilihat pada tataran modal sosial. Apapun yang kita lakukan, apabila aspek
modal sosial tidak diperhitungkan, maka investasi yang dilakukan tidak
mendorong peningkatan kesejahteraan.
k. Happiness Index
Tujuan pembangunan harus
ditambahkan dengan overall human system
well being dengan eco system well being. Hal yang tidak dapat
dielakkan adalah “pembangunan terintegrasi” yang mampu mengintegrasikan human system, ekosistem, yang bermuara pada
human-eco happiness. Oleh karena itu dibutuhkan koordinasi yang kuat antar
instansi pemerintah, agar mampu meningkatkan efektivitas pembangunan dalam
mendorong peningkatkan kesejahteraan dan “kebahagiaan masyarakat” dalam
merasakan dan menikmati hasil pembangunan yang dilakukan. Pelaksanaan
pembangunan harus melihat peningkatan
human system, eco system dan human-eco happiness, yang diukur dengan
happiness Index.
l. Branding dan Area Identity
Direktorat Jenderal Cipta Karya
harus mampu mendorong branding dan
area identity dari sebuah kota dan wilayah. Indonesia yang mempunyai
multiple culture diversity yang perlu
dioptimalkan pada tataran ekonomi. Sumberdaya alam, invovasi, fasionable, local
value with modern spirit perlu diintegrasikan dalam ekonomi kreatif yang mampu
mendorong daya saing kota-kota.
m. Participatory Development
Pendekatan participatory development, jangan hanya
diartikan dengan self helped, dan untuk
itu perlu didukung dengan adanya tenaga pendamping yang mendorong dan
memberdayakan masyarakat. Proses pembangunan seringkali tidak mengedepankan
local wisdom, sehingga tidak mengakomodasikan budaya lokal.
n. Pengembangan Enterpreneurship
Secara umum ada tiga tipe
pemberian pemerintah kepada masyarakat:
• Charity, dengan memberikan one shot giving dan cenderung kurang mendidik;
• Philantropy, dianggarkan tiap tahun dan
dilakukan secara terus menerus;
•
Social entrepreneurship, bagaimana pemerintah membangun, dan masyarakat
kemudian mampu memelihara dan mengembangkan secara mandiri. Isu keberlanjutan
yang menjadi penting, dan mengedepankan keberlanjutan hasil pembangunan.
Direktorat Jenderal Cipta Karya
diharapkan mampu untuk mengimplementasikan succesfull entrepreneurship yaitu
dengan: i) Merubah dengan cara yang baik (change friendly), dengan mendorong
masyarakat untuk berubah tanpa menimbulkan konflik; ii) Berorientasi pada
kesempatan (opportunity oriented); iii) Inovatif; iv) Banyak Akal; v)
Menciptakan nilai baru.
o. Pengembangan Ekonomi Kreatif dengan
Pengembangan Nilai Tambah
Dalam menjawab tantangan ke
depan, kita harus mampu mempertahankan cultural expression yang mampu mendorong berkembangnya ekonomi
kreatif yang menjadi daya saing bangsa. Oleh karena itu kedepan harus
diupayakan mendukung ekonomi kreatif yang didukung dengan desain yang baik,
serta didukung dengan marketing yang terintegrasi. Kebijakan pemerintah
diharapkan harus mampu menjembatani dalam mengekplorasi pasar pada tataran
internasional. Konsep branding dan packaging
menjadi lebih penting dalam mendukung konteks dalam mendorong daya saing
ekonomi kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar