Senin, 08 Oktober 2012

Kajian Sitem Jaminan Kesehatan Masyarakat


Secara konstitusional, langkah pemerintah untuk melakukan
berbagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama
bagi kaum miskin dan kurang mampu patut mendapatkan 
dukungan nyata dari semua kalangan. Didalam UUD 1945 
pasal 28 H (1) menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup 
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan 
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh 
pelayanan kesehatan”. 


Demikian juga di dalam pasal 34 (2) dinyatakan bahwa ”Negara 
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan 
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu 
sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Latar konstitusional
tersebut dipertegas lagi di dalam pasal 34 (3) yang menyatakan 
bahwa ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah terhadapupaya  
peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah 
dengan mengembangkan program Asuransi Kesehatan bagi 
keluarga miskin (Askeskin) sejak tahun 2005 hingga tahun 2007.
Pada tahun 2008 program tersebut berubah nama menjadi 
program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Apapaun 
nama dan model apapun, yang pasti, semua program tersebut 
bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap 
pelayan kesehatan yang berkualitas.Masalahnya adalah belum 
semua masyarakat terutama masyarakat miskin dan 
kurang mampu, dapat menjangkau akses pelayanan kesehatan 
yang diberikan oleh pemerintah kota, apalagi jika bicara pada 
level kualitas pelayanan kesehatan. Banyak indikator yang bisa 
dilihat, namun kesemuanya itu belum mampu menunjukkan 
peningkatan kualitas atau derajat kesehatan masyarakat terutama 
masyarakat miskin dan kurang mampu. Atas dasar latar belakang 
inilah Tim Perjuangan Bamunas memandang perlu untuk melakukan 
kajian terhadap penerapan Askeskin di Kota Cirebon.
Adapun tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah  
pertama, untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan 
penerapan Askeskin;  
kedua, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung atau 
menghambat keberhasilan penerapan Askeskin; 
ketiga, Untuk memperoleh berbagai lesson learned dari penerapan 
Askeskin bagi penerapan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
 Kajian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif ini 
menggunakan metode focus group discussion (FGD) diharapkan 
dapat diperoleh data yang jauh lebih lengkap. Seyogianya melibatkan 
berbaga pimpinan instansi terkait seperti Pemerintah Kota
 (Dinas Kesehatan), PT Askes, LSM, kalangan akademisi, dan 
pelaksana pelayanan kesehatan (PPK) seperti Puskesmas dan 
Rumah Sakit, kajian ini mengambil lokus di 5 Kecamatan 
di Kota Cirebon.5 kecamatan tersebut belum mampu mewakili  
keseluruhan daerah di Kota Cirebon, namun berbagai hasil dari 
kajian ini dpat dijadikan cermin bagi pelaksanaan Jamkesmas 
di masa datang.
 HASIL TEMUAN
Program Askeskin
Dari hasil temuan data yang peroleh di daerah tersebut, beberapa 
temuan yang penting untuk diungkapkan sebagai hasil dari kajian 
ini adalah sebagai berikut :
Aspek kepesertaan. Salah satu hal penting dalam aspek kepesertaan 
adalah belum siapnya data yang akurat akibat perbedaan perhitungan 
antara data BPS (yang selama ini dijadikan patokan oleh Departemen 
Kesehatan Kota Cirebon) dengan data dari pemerintah kota. 
Perbedaan ini antara lain dipicu pendekatan dan persepsi yang berbeda 
dalam proses pendataan di masyarakat. Dari manapun sumber data 
yang akan digunakan oleh pemerintah (baik BPS maupun data dari 
Pemerintah Kota) sebenarnya tidak ada masalah, namun dasar 
penetapannya harus melalui kriteria yang rasional dan obyektif. Tentu 
saja hal ini sangat penting jika merujuk pada kriteria yang ditetapkan 
oleh pemerintah dimana kriteria orang miskin dan tidak mampu adalah 
yang rumahnya masih menggunakan lantai tanah. Selain itu, 
aksesibilitas masyarakat miskin dan kurang mampu dalam memperoleh 
pelayanan kesehatan masih terganggu oleh banyaknya kalangan 
masyarakat mampu yang berusaha mendapatkan pelayanan Askeskin 
melalui pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). 
Akibatnya, beban beban anggaran Pemkot yang dialokasikan lewat 
APBD akan semakin berat.
 Aspek pendanaan. Beberapa permasalahan penting yang selama ini 
menjadi kendala terkait dengan aspek pendanaan adalah terkait dengan 
payung hukum  cost sharing atau dana pendamping  dari pemerintah 
propinsi. Departemen dalam negeri belum mengatur tentang mekanisme 
pencairan dana pendamping tersebut, sehingga seringkali pemerintah 
kota kesulitan mencairkan anggaran yang berasal dari sumber APBD 
tersebut. 
Penyaluran dana secara langsung ke PPK baik untuk Puskesmas dan 
jaringannya serta rumah sakit, meskipun lebih menguntungkan karena 
PPK lebih memiliki diskresi untuk mengelola anggarannya, namun hal 
ini tidak mendapatkan dukungan dari Departemen Dalam Negeri yang 
masih menganggap bahwa puskesmas dan jaringannya serta Rumah sakit 
merupakan instansi di bawah pemerintah daerah, bukan instansi vertikal 
dari departemen kesehatan.
Secara psikologis hal ini mengganggu proses penyaluran dana Pusat
untuk program Askeskin ini. Selain berbagai kendala itu, kendala lainnya 
juga masih sangat mengganggu penyelenggaraan program Askeskin 
antara lain pencairan dana yang tidak tepat waktu sehingga menghambat 
oeperasional pelayanan khususnya pada Rumah Sakit.
 Aspek organisasi. Perbedaan terminologi kendali biaya selama ini 
terjadi karena terdapat persepsi berbeda antara pihak Rumah sakit dan 
PT. Askes. Bagi rumah sakit, pelayanan kesehatan kepada masyarakat 
miskin adalah tugas rumah sakit yang tidak bisa ditolak. Karena itu, 
rumah sakit akan selalu menerima semua pasien yang memiliki identitas
sebagai masyarakat miskin. Selain itu, rumah sakit harus dihadapkan 
pada mutu layanan dan lebih ke arah kendali mutu. Sementara pihak
PT Askes mendasarkan pada pilihan efisiensi, sebagai konsekuensi 
dari tugas pokok dan fungsi PT Askes dalam penyelenggaraan program 
Askeskin sebagai pengendali biaya. Selain itu, pensosialisasian program 
Askeskin juga masih belum optimal, sehingga masih banyak 
masyarakat miskin dan kurang mampu yang belum mengetahui program 
Askeskin ini. Meskipun demikian, tingkat utilisasi pelayanan kesehatan 
sebenarnya sudah sangat bagus (16,7 persen) melebihi target 
keberhasilan yang ditetapkan pemerintah kota.
Aspek pelayanan kesehatan. Beberapa kendala terkait dengan aspek 
pelayanan kesehatan adalah belum optimalnya pemanfaatan program 
Askeskin oleh masyarakat akibat kurangnya sosialisasi. Namun 
demikian, berdasarkan indikator keberhasilan penyelenggaraan program
 askeskin ini, program ini relatif berhasil terutama jika dilihat dari aspek 
utilisasi pelayanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas dan Rumah sakit.
 Aspek pemantauan dan evaluasi. Seringkali tim pemantau dan 
evaluasi bertindak secara tidak berkisinambungan, sehingga pelaksanaan 
Askeskin berjalan tanpa ada koordinasi. Padahal posisi tim pemantau dan 
evaluasi ini sangat penting dalam mengawal pelaksanaan setiap tahap 
program Askeskin. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi lebih
 bersifat formalitas semata. Perbaikan berkelanjutan selama kurun 
waktu tahun 2009 – 2012 belum berkembang secara signifikan, terutama 
dalam masalah kepesertaan dan independensi verifikator keuangan.
 Program Jamkesmas
Dalam pelaksanaannya, program Askeskin juga masih terdapat berbagai
 kendala yang perlu untuk diselesaikan, antara lain :
Aspek kepesertaan, permasalahan yang ditemui adalah: (a) belum semua 
kecamatan menetapkan data masyarakat miskin; b) ketidaktepatan sasaran 
di mana masih ada pengguna SKTM yang berasal dari masyarakat 
non-miskin yang memanfaatkan pelayanan kesehatan dari Program 
Jamkesmas; serta c) belum semua sasaran Program Jamkesmas mendapatkan
 kartu peserta.
 Permasalahan dari aspek pelayanan kesehatan yang ditemui berupa: 
(a) pemanfaatan Program Jamkesmas oleh masyarakat miskin belum optimal,
 sehubungan dengan adanya penyalahgunaan SKTM oleh kelompok yang 
tidak berhak; (b) sistem rujukan belum berjalan sebagaimana mestinya; 
(c) masih dilakukan tindakan yang berlebihan; (d) kendali mutu dan kendali 
biaya pelayanan kesehatan di RS belum Optimal, dan (e) Verifikator 
independen belum mendapatkan pelatihan secara optimal disebabkan 
terhambat masalah pendanaan.
Permasalahan dari aspek pendanaan, berupa: (a) Masih adanya 
Rumah Sakit yang belum menggunkan dana secara optimal, (b) pemerintah 
kota yang menerapkan kebijakan untuk menyetorkan dana langsung 
ke kas daerah,  (c) Hutang pelayanan program Askeskin tahun 2009, dan 
(d) Prosentase pembiayaan obat terhadap biaya total pelayanan kesehatan 
masih di bawah 50%.
 Aspek organisasi dan manajemen, permasalahan yang dihadapi 
diantaranya adalah : (a) sosialisasi program masih belum optimal pada 
seluruh stakeholder terkait, (b) koordinasi Tim Pengelola Jamkesmas  
Kota Cirebon belum berjalan dengan optimal, serta (c) mekanisme 
pelaporan pelaksanaan kegiatan Jamkesmas  dari Dinas Kesehatan Kota 
ke Depkes belum berjalan seperti yang diharapkan.
 SARAN REKOMENDASI
Dari berbagai persoalan di atas, berikut ini diberikan saran rekomendasi 
agar penyelenggaraan program Jamkesmas bisa berjalan lebih baik, 
sebagai berikut :
1.Perlu ketegasan pemerintah kota  untuk menetapkan sistem pendataan 
yang berkelanjutan, agar pesertaJamkesmas tidak lagi salah sasaran. 
Untuk itu perlu diusulkan model Single Identity Number sebagai kartu 
multiguna yang salah satunya dapat difungsikan sebagai kartu Jamkesmas.
(Program Jokowi menuju DKI-I)
Hal itu sekaligus dapat digunakan untuk mengatasi permasalah pelayanan 
kesehatan yang selama ini tidak optimal. Apalagi ketidakoptimalan 
pelayanan kesehatan selama ini karena munculnya berbagai bentuk 
penyalahgunaan SKTM. 
 2. Perlu Surat keputusan bersama antara menteri kesehatan dan menteri
 dalam negeri agar tidak terjadi mispersepsi tentang penyelenggaraan 
program Jamkesmas ini. 
Hal ini misalnya masih adanya persepsi bahwa rumah sakit dan puskesmas
tidak bisa mendapatkan dana langsung dari pemerintah pusat. Padahal 
program Jamkesmas merupakan program untuk meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat miskin.  
3.  Perlu tindak lanjut penempatan Tim verifikator, karena hingga saat ini 
masih banyak rumah sakit yang belum ditempatkan Tim Verifikator. 
Disamping itu, konsekuensi penempatan Tim Verfikator juga harus 
dipikirkan oleh pemerintah  karena hingga saat ini masih ada 
pemahaman bahwa Tim Verifikator menjadi tanggungjawab 
Pemerintah Kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar