Minggu, 14 Oktober 2012

PENDIDIKAN DAN OTONOM DAERAH


Perbincangan tentang otonomi pendidikan yang menghiasi media masa akhir-akhir ini, lebih dipumpunkan pada aspek makro. Kelihatannya kita sibuk mengatur strategi menerjemahkan manajemen  pendidikan yang selama ini sentralistik  menjadi manajemen pendidikan desentralistik sesuai tuntutan otonomi daerah. Mendiknas sebagai penanggungjawab pendidikan mengakui bahwa aturan tentang otonomi pendidikan belum ada. Para tehnokrat pendidikan di daerah sedang dipusingkan oleh masalah struktur organisasi pendidikan, jabatan dan eselon.

Pembicaraan tentang otonomi pendidikanpun lebih berkisar pada aras makro. Yakni posisi pendidikan dalam master plan pembangunan daerah atau program pembangunan daerah (Propeda). Sebenarnya kita sudah tahu bahwa keberhasilan pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan seperti dikatakan oleh Theodora Schultz (1960), Bawman (1966), Cain (1976) dan Singh(1986). Konsep ini sesungguhnya telah mengilhami implementasi pendidikan di Indonesia selama ini. Persoalannya, mengapa pendidikan kita belum mampu  meningkatkan kualitas SDM? Menurut saya, hal ini lebih disebabkan oleh political will penguasa pada waktu itu. Selama 32 tahun di bawah penguasa ORBA kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, bahkan pernah mencapai tingkat pertumbuhan 6% sebelum pada akhirnya kita terjebak pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Anggaran pendidikan pada setiap APBN tidak pernah mencapai 10% dari total APBN. KTT pembangunan sosial di Copenhagen 1996 menganjurkan besaran biaya pendidikan disetiap negara 20% dari total anggaran belanja negara. Dalam tautan yang sama Unesco menetapkan biaya pendidikan pada setiap negara sebesar 4% dari GDB. Kalau komitmen pemimpin bangsa kita terhadap pendidikan yang tercermin dalam APBN sangat kecil, muncul pertanyaan, kualitas pendidikan macam apa yang diinginkan? UNDP dalam human Development report tahun 2000 memaparkan tentang peringkat kualitas SDM Indonesia nerada diurutan 109  jauh dibawah Filipina (77), Thailand (61) Brunei (32), Korsel (30) dan Singapura (24). Data di atas mengungkap bahwa kualitas pendidikan kita masih sangat rendah.
OTONOMI PENDIDIKAN
Pembicaraan tentang otonomi pendidikan disetiap daerah kelihatannya lebih memumpun pada soal dana atau anggaran pendidikan. Setiap daerah otonom memiliki kebebasan menentukan besaran anggaran pendidikan dalam APBD. Fenomena empirik ini sebenarnya agak menggelisahkan masyarakat pemerhati pendidikan. Kita sepertinya terjebak pada soal uang saja, dan sepertinya uang adalah segala-galanya bagi peningkatan kualitas pendidikan. Kita kadang-kadang lupa tentang proses pendidikan itu sendiri. Kita sepertinya berasumsi kalau ada uang otomatis kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Guru-guru menuntut peningkatan kesejahteraan. Guru-guru juga menuntut penyediaan sarana pembelajaran yang memadai yang semuanya bisa dipenuhi dengan uang. Kita juga seperti melupakan motivasi belajar anak, pengabdian guru dan partisipasi masyarkat dalam pendidikan.
Mestinya kita perlu juga belajar dari sejarah pendidikan sejak jaman Hindu Purba, jaman Islam, jaman kolonial Belanda dan jaman Jepang. Dengan segala keterbatasan, proses pendidikan waktu itu menghasilkan kualitas SDM yang sangat tinggi. Kita bisa lihat hasil karya Candi Borobudur, Candi Prambanan yang didirikan pada masa itu. Kita juga bisa bertanya pada kakek atau nenek kita yang pernah sekolah pada sekolah rakyat (SR) jaman Belanda (3 tahun). Mereka dapat menguasai bahasa Belanda lisan dan tertulis. Kita juga bisa belajar pada Filipina atau India. Kedua negara ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding Indonesia. Tapi kualitas pendidikan di kedua negara ini lebih baik dari Indonesia. Hal substansial menurut saya terletak pada guru yang mengelola proses belajar mengajar di kelas. Apakah proses belajar mengajar kondusif untuk peningkatan kualitas SDM?
Saat ini yang kita butuhkan bukan lagi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, tetapi pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Dan inti dari pelayanan pendidikan yang berkualitas terletak pada tanggungjawab profesional guru. Gaji yang tinggi bukan merupakan tujuan orang menjadi guru. Tetapi gaji hanya merupakan akibat dari rasa keterpanggilannya sebagai guru. Profesi guru merupakan panggilan sekaligus penghakiman atas keterpanggilannya itu. Kalau orientasi menjadi guru sudah mengalami perubahan paradigma, maka proses pendidikan ibarat mengurai benang kusut.
Agak aneh, di jaman tehnologi ini masih ada guru terutama di SMP, SMTA bahkan Perguruan Tinggi yang sangat mengakrabi metode dikte. Lebih celaka lagi materi yang didiktekan adalah  materi pelajaran belasan tahun lalu. Penggunaan metode dikte di jaman ini bisa dikategorikan sebagai proses pembodohan terhadap peserta didik. Guru dalam kondisi seperti ini, masih mengclaim diri sebagai sumber tunggal otoritas ilmu, sementara peserta didik diposisikan sebagai botol kosong. Kalau kondisi obyektif ini tidak berubah, maka sebesar apapun anggaran pendidikan yang disediakan,  tetap akan sia-sia.
ANGGARAN PENDIDIKAN
Usulan Dirjen Pendidikan Tinggi untuk menetapkan pajak pendidikan, merupakan usulan yang sangat menarik untuk dicermati. Di negara – negara maju, pajak pendidikan  dibayar oleh rakyat.  Semua warga negara bertanggungjawab terhadap pembangunan pendidikan. Karena itu semua warga negara wajib membayar pajak pendidikan berdasarkan tingkat penghasilannya. Selama ini, kita kenal SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dalam pelaksanaannya, SPP menyerupai pajak pendidikan.. Orang tua diwajibkan membayar SPP.  Pada hal secara substansial SPP adalah sumbangan. Konsep ini mengandung makna; tidak ada paksaan, tidak ada kewajiban, tidak ada sanksi kalau orang tua tidak membayar SPP. Konsep yang rancu ini mungkin segera diperbaiki, agar tidak meninggalkan  warisan sejarah pendidikan yang salah kepada generasi berikutnya.
Hal lain yang menarik menurut saya, biaya pendidikan di daerah  kalau mungkin  10-20% diambilkan dari keuntungan BUMD. Pemerintah daerah harus memiliki kiat khusus untuk membiayai pendidikan di daerah. Pemerintah daerah dapat menunjuk BUMD tertentu untuk secara rutin membiayai keperluan operasional pendidikan. Bagi daerah yang tidak memiliki BUMD yang prospektif, maka dana operasional pendidikan mesti dialokasikan dari dana alokasi umum (DAU). Buat apa menyimpan sisa DAU dalam jumlah besar di Bank, sementara mutu pendidikan kita tidak beranjak dari tempat.  Sudah saatnya tehnokrat pendidikan di daerah menentukan apa yang terbaik untuk daerah, tanpa harus menunggu petunjuk dari atas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar