Kamis, 11 Oktober 2012

Kondisi Umum Pencapaian, Permasalahan dan Tantangan


1. KONDISI UMUM PENCAPAIAN  
1.1 PENGEMBANGAN PERMUKIMAN  
Diperkirakan pada akhir tahun 2014 lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan sebagai akibat laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun dan secara terus menerus telah melahirkan  dynamic phenomenon of urbanization. Proses ini berakibat pada semakin besarnya suatu kawasan perkotaan, baik dalam hal jumlah penduduk maupun besaran wilayah atau tapak ekologis. 
Di sisi lain seiring dengan otonomi daerah (kota) yang semakin menguat membawa dampak pula pada“egoisme kedaerahan” yang semakin tinggi dan disertai kekuatan-kekuatan pasar (swasta) yang terus memperlihatkan dominasinya sehingga membawa  dampak pada kecenderungan perkembangan dan pola penyebaran permukiman yang semakin sulit diantisipasi.  Dengan laju pertumbuhan yang mencapai 1,37 persen per tahun maka  telah  terjadi peningkatan  luas kawasan permukiman kumuh dari 54.000 ha pada tahun 2004 menjadi 57.800 ha pada akhir  tahun 2009.  Dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan permukiman, berbagai upaya telah dilakukan diantaranya melalui program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) yang sampai dengan saat telah mencapai 802 kelurahan dengan target Renstra 2005-2009 841 kelurahan; sedangkan untuk peningkatan kualitas lingkungan permukiman lainnya juga telah dibangun rumah susun sederhana sewa sebanyak 18.848 unit dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 30.000 unit.  Penanganan kawasan tertinggal, pengembangan desa potensial  melalui agropolitan, dan perencanaan pengembangan kawasan permukiman baik skala kawasan maupun perkotaan belum mencapai sasaran yang   diharapkan.

Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan kawasan berbasis agribisnis melalui pengembangan sektor/komoditas unggulan pertanian/perikanan, dengan tujuan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal berbasis agribisnis sehingga dapat menjadi lokomotif penggerak perekonomian lokal di kawasan tersebut dan daerah belakangnya. Perkembangan kawasan Agropolitan sampai dengan tahun 2008 telah mencapai 193 kawasan, yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.  Target pencapaian pembangunan perdesaan potensial melalui agropolitan pada tahun 2005-2009 adalah 347 kawasan, namun hingga saat ini baru tercapai pada 331 kawasan. Dari total kawasan agropolitan, sebanyak 41 kawasan berada di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di luar Pulau Jawa. Provinsi 3-3 yang memiliki kawasan agropolitan terbanyak adalah Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 11 kawasan. Sementara itu pembangunan kawasan terpilih pusat pengembangan desa  bertujuan untuk merangsang pertumbuhan usaha-usaha ekonomi perdesaan melalui penyediaan berbagai fasilitas permukiman, berupa fasilitas air bersih, persampahan, dan sanitasi di desa-desa yang berpotensi untuk berkembang. 

Sampai dengan saat ini  jumlah kawasan  yang telah  difasilitasi sebanyak 660 kawasan, hal ini telah melebihi target Renstra 2005-2009 yang hanya berjumlah 584 kawasan,  sedangkan dukungan infrastruktur perdesaan hingga saat ini sudah mencapai 22.647 desa dari 29.274 desa target Renstra 2005-2009. Selain  peningkatan kualitas lingkungan permukiman  tersebut diatas,  hal  lain yang  telah dilaksanakan untuk mendukung pengembangan kawasan permukiman khususnya  bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah  (MBR)  adalah  dengan memfasilitasi  dukungan kawasan perumahan bagi PNS/TNI-Polri/Pekerja  sebanyak 600.278 unit dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 567.569 unit. Sementara itu penyediaan infrastruktur permukiman bagi kawasan terpencil/pulau kecil dan terluar telah difasilitasi sebanyak 29 Kab/Kota dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 11 Kab/Kota, sedangkan penyediaan infrastruktur permukiman untuk kawasan perbatasan sebanyak 181 kawasan dari target Renstra 2005-2009 sebanyak 92 kawasan.

Tingkat pemenuhan kebutuhan rumah masih  rendah. Diperkirakan sampai dengan tahun 2020, rata-rata setiap tahun terdapat 1,15 juta unit rumah yang perlu difasilitasi.  Saat ini pembangunan/pengembangan rumah baru mencapai 600.000 unit per tahun. Jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 4,3 juta unit pada tahun 2000 menjadi 5,8  juta unit pada tahun 2004 dan 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Kondisi tersebut diperkirakan akan terus berakumulasi di masa yang akan datang akibat adanya pertumbuhan rumah tangga baru rata-rata  Berdasar kualitas fisik bangunan, pada tahun 2007 rumah tangga Berdasar status penguasaan tempat tinggal,  pada tahun 2007 sebesar 820.000 unit rumah per tahun. Pemerintah telah melakukan berbagai fasilitasi penyediaan perumahan  dan permukiman bagi masyarakat berpendapatan rendah  melalui penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH), pengembangan  kredit mikro perumahan, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), fasilitasi pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) melalui peran serta swasta, fasilitasi pembangunan baru dan peningkatan  kualitas perumahan swadaya. 

a  yang menempati rumah  berlantai bukan tanah  telah
mencapai  86,29  persen; beratap bukan  daun sebanyak 98,8 persen; dan berdinding permanen sebesar 87,6 persen. Selain itu, berdasar kondisi bangunan tempat tinggal, rumah tangga yang menempati  rumah dengan kondisi  baik mencapai 45,94 persen, kondisi sedang 43,94  persen,  kondisi rusak  9,25 persen, dan kondisi rusak berat 0,87 persen. Sementara itu berdasarkan data SUSENAS tahun 2007  masih terdapat 5,9 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Jumlah rumah saat ini hanya 51 juta unit. Dari jumlah tersebut hanya 17 juta rumah tergolong layak huni dan 34 juta masih tergolong tidak layak huni yang terbagi sebanyak 40% di perdesaan dan 60% di perkotaan.  terdapat  78,22   persen rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri,  sisanya 21,78 persen  menempati rumah bukan milik sendiri seperti kontrak, sewa dan  rumah orang tua. 3-5 Proporsi rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri di perkotaan mencapai 32,98 persen jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan yang sebesar 13,28 persen. Semakin terbatasnya lahan dan harga rumah di perkotaan menyebabkan  masyarakat cenderung untuk menempati rumah sewa/kontrak.  Proporsi rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri di perkotaan mengalami penurunan sebesar 2,71 persen dibandingkan kondisi pada tahun 2004 yang sebesar 80,93 persen.    

Penurunan ini terkait erat dengan peningkatan harga rumah dan penurunan daya beli masyarakat. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan, keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan dan permukiman serta meningkatnya harga lahan semakin mempersulit akses masyarakat untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau di perkotaan. Masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menempati lahan yang bukan miliknya (ilegal) atau menempati hunian di pinggiran kota yang jauh dari lokasi pekerjaan. Masih tingginya  biaya pengurusan serta keterbatasan informasi terhadap prosedur sertifikasi dan rencana tata ruang mengakibatkan sebagian masyarakat menempati rumah tanpa memiliki bukti legalitas pemanfaatan lahan dan bangunan serta tidak sesuai dengan rencana tata ruang.  Ditinjau dari aspek kepastian jaminan bermukim, rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri dan telah didukung oleh bukti hukum tanah berupa sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), girik, maupun akta jual beli mengalami peningkatan dari 74,49 persen pada tahun 2004 menjadi 77,94 persen pada tahun 2007. 

 Penyerahan kewenangan pembangunan perumahan yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah belum disertai dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia serta perangkat  organisasi penyelenggara dalam memenuhi standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan. Selain itu, koordinasi antarlembaga masih belum berjalan dengan baik, salah satunya  ditunjukkan dengan belum efektifnya fungsi Badan Koordinasi Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N).  

1. 2    PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN 
Penanganan bangunan gedung dan lingkungan telah diupayakan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi peraturan bidang bangunan gedung dan lingkungan sebanyak 5 (lima) kali di setiap provinsi dengan target 495 kabupaten/kota; pelatihan tenaga pendata harga dan keselamatan bangunan sebanyak 3.744 orang di 495 kabupaten/kota; pendataan dan pembinaan kelembagaan terkait bangunan gedung di 495 kabupaten/kota pada 33 provinsi; pendataan kinerja pemerintah daerah di 43 kabupaten/kota pada 8 (delapan) provinsi; serta pendataan Peraturan Daerah (Perda) terkait bangunan gedung di 495 kabupaten/kota pada 33 provinsi. Kondisi saat ini juga mencatat telah tersusunnya perda tentang bangunan gedung di 15 kabupaten/kota dan 1 provinsi (Bali) dari fasilitasi terhadap 221 kabupaten/kota. Selain itu, telah disusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) di 203 kawasan pada 148  kabupaten/kota;  Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan mencapai 41.988 kelurahan, hal ini telah melebihi target Renstra 2005-2009 sebanyak 40.648 kelurahan; Rencana Induk Sistem Proteksi kebakaran (RISPK) di 59 kabupaten/kota; sistem ruang terbuka hijau telah ditangani di 150 kawasan di 33 kabupaten/kota; revitalisasi kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional telah ditangani pada 297 kawasan di 137 kabupaten/kota;  dan peningkatan kualitas permukiman kumuh nelayan di 748 kawasan atau melebihi target Renstra 2005-2009 yang menetapkan 733 kawasan. 

Selain itu, dalam kurun waktu lima tahun (2005-2009) sejumlah peraturan mengenai bangunan gedung dan penataan lingkungan telah berhasil diselesaikan,  diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang  Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Disamping itu telah diterbitkan  pula berbagai NSPK untuk Bangunan Gedung  yang meliputi (1) Peraturan  Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan  Teknis Bangunan  Gedung; (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; (3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata  Bangunan  dan Lingkungan; (4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung; (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;dan (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung. 

1. 3    PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
Proporsi penduduk terhadap  sanitasi  yang  layak  secara nasional  sampai dengan tahun 2009  mencapai  51,02%  atau melayani  sekitar 120  juta  jiwa. Sementara itu  target  Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 62,37% untuk dapat melayani 154  juta  jiwa. Saat ini  proporsi penduduk  rumah tangga perkotaan  yang  sudah memiliki akses terhadap sanitasi  yang layak sebesar 69,55% atau 84  juta  jiwa dari target MDGs 78,30% dengan jumlah penduduk terlayani 115 juta jiwa pada tahun 2015. Sedangkan proporsi penduduk rumah tangga di perdesaan yang sudah memiliki akses terhadap sanitasi yang layak  sebesar  34% pada tahun  2009 atau melayani 36  juta  jiwa  sementara itu  target MDGs  tahun 2015 sebesar 55,54% untuk melayani 39 juta jiwa. 

Namun pencapaian tersebut masih sebatas pada akses ke jamban dan toilet saja, belum pada akses fasilitas sanitasi yang berkualitas dengan kriteria fasilitas tersebut masih berfungsi dengan baik, digunakan sesuai dengan peruntukannya, dan sesuai dengan standar kesehatan maupun standar teknis yang telah ditetapkan. Tercatat dari data tahun 2007, banyaknya rumah tangga yang menggunakan tangki septik (praktek pembuangan tinja aman) sebesar 49,13%, yaitu 71,06% di perkotaan dan 32,47% di perdesaan. Sedangkan sisanya 50,86% rumah tangga melakukan praktek pembuangan tinja tidak aman (di kolam/sawah, sungai/danau/laut, lubang tanah, pantai/kebun) dengan prosentase di perkotaan 28,93% dan di perdesaan mencapai 67,54%.  Perilaku praktik buang air besar sembarangan (BABS) tersebut menunjukkan rendahnya kesadaran pelaku terhadap pentingnya perilaku hidup 3-9 bersih dan sehat (PHBS). Rendahnya kesadaran pelaku akan pengelolaan air limbah yang layak dan rendahnya utilisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran air permukaan.  Proporsi rumah tangga yang terlayani dengan sistem air limbah terpusat skala kota telah mencapai 1 persen dan prosentase sistempelayanan air limbah berbasis masyarakat telah dilakukan di 409 lokasi.   

Selama periode 2004 hingga 2009 pembangunan sistem air limbah terpusat skala kota telah dilakukan di Kota Denpasar melalui pendanaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Selain itu, sistem pengolahan air limbah terpusat (Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL) komunal telah dibangun di 217 kota/kabupaten. Proporsi rumah tangga yang terlayani dengan sistem pengolahan setempat dan sistem terpusat skala komunal adalah sebesar 69,3 persen (daerah perkotaan sebanyak 81,8 persen dan perdesaan sebanyak 60 persen). Tingginya angka cakupan tersebut diantaranya merupakan hasil dari kegiatan penyediaan prasarana dan sarana air limbah berbasis masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah bersama dengan lembaga swadaya masyarakat. Kepedulian Pemerintah pada pengelolaan air limbah sekarang berada pada titik tertinggi sejak beberapa tahun terakhir. Namun demikian, peningkatan alokasi pendanaan masih belum mampu untuk membiayai total kebutuhan yang ada. Di sisi lain, skema-skema pembiayaan yang bersumber dari non-pemerintah masih belum dikembangkan, termasuk kerja sama dengan swasta, baik dalam bentuk investasi swasta maupun dana Corporate Social Responsibility (CSR).  

Institusi pengelola air limbah di daerah saat ini masih belum menerapkan prinsip manajemen yang baik, antara lain pada Perusahaan Daerah ditunjukkan dengan belum adanya manajemen aset dan penyusunan business plan yang absah, serta kurangnya dukungan sumber daya manusia yang berkualitas pada non-Perusda  yang mengelola air limbah. Selain itu, masih rendahnya kesediaan membayar  (willingness to pay) dari masyarakat untuk pelayanan air limbah domestik dan subsidi pemerintah  yang tidak dapat diandalkan menjadikan  pengelola tidak dapat menutup biaya pelayanannya secara penuh (full-cost recovery).  Saat ini payung kebijakan yang mendukung pengelolaan air limbah hanya berupa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 7  Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yaitu pasal 21 ayat (2), yang menyatakan bahwa perlindungan dan pelestarian sumber air salah satunya  dilakukan melalui pengaturan sarana dan prasarana sanitasi. Hampir seluruh kota di Indonesia tidak mempunyai pemetaan terhadap  kebutuhan infrastruktur dan layanan air limbah serta tidak tersedianya rencana rinci terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini mengakibatkan tidak adanya prioritas serta pentahapan yang jelas mengenai pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana air limbah. 

Dari sisi perencanaan, tengah dikembangkan penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) agar pemerintah daerah memiliki dasar bagi pembangunan sanitasi bagi daerahnya masing-masing.  Meningkatnya intensitas curah hujan dalam interval waktu yang semakin pendek yang disebabkan  perubahan iklim  akibat efek pemanasan global (global warming) dan semakin berkurangnya bidang resapan menjadi faktor penyebab semakin tingginya debit limpasan hujan yang harus ditampung oleh saluran drainase. Belum optimalnya fungsi drainase sebagai pematus air hujan yang mengakibatkan timbulnya genangan, merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan drainase.  Kelangkaan lokasi untuk pembuangan sampah serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya menjadikan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 sebanyak 11,34% rumah tangga masih membuang sampah ke kali/selokan yang menyebabkan mampatnya saluran drainase sehingga menurunkan  fungsi saluran drainase yang berimplikasi pada peningkatan luasan kawasan tergenang.  Di sisi lain banyak dijumpai pula bahwa fungsi saluran drainase tidak tegas apakah untuk mengalirkan kelebihan air permukaan atau juga berfungsi sebagai saluran air limbah. Pembuangan air limbah domestik dan air limbah industri rumah tangga ke dalam saluran drainase menyebabkan peningkatan debit air pada saluran drainase.   

Perencanaan sistem pengelolaan drainase belum didasari dengan adanya suatu rencana induk pengelolaan sistem drainase yang absah. Selain itu, perencanaan sistem drainase saat ini juga belum mengintegrasikan antara  sistem drainase primer, sekunder, dan tersier. Sementara itu, ketidakjelasan pengelola sistem drainase, menyebabkan pengabaian kondisi saluran drainase dan minimnya alokasi dana yang dianggarkan untuk operasi dan pemeliharaan sistem. Terbatasnya anggaran pemerintah baik untuk investasi, operasi dan pemeliharaan sistem drainase menjadikan pengelolaan drainase belum berjalan secara optimal.  Pada sektor persampahan, pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)  masih  rendah.  Rata-rata volume sampah diperkirakan mencapai 74 juta ton/tahun. Namun dari total timbulan sampah tersebut, proporsi sampah terangkut hanya mencapai  20,63 persen. Belum adanya rencana induk pengelolaan sampah menjadikan belum tersedianya profil dan rencana penanganan sampah di tingkat kabupaten/kota. Ketiadaan rencana induk juga mengakibatkan tidak bersinerginya sistem pengelolaan sampah yang dilakukan  oleh pemerintah dengan sistem pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga penanganan sampah belum terintegrasi utuh mulai penanganan dari sumber hingga ke TPA. 

Sementara upaya meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Banyak TPA yang tidak didesain sebagai sanitary landfill atau mengalami perubahan sistem dari  sanitary landfill  dan/atau  controlled landfill  menjadi  open dumping. Sementara jumlah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang menerapkan  sanitary landfill mencapai 10 TPA; dan yang menerapkan controlled landfill sebanyak 55 TPA,  sehingga secara umum belum dikelola menggunakan pendekatan yang ramah lingkungan. Namun demikian telah dibangun TPA berbasis  Clean Development Mechanism di 2 (dua) lokasi dan sedang dalam tahap persiapan di 11 lokasi. Dari sisi regulasi, pada tahun 2008 telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mewajibkan seluruh TPA dikelola secara sanitary landfill  sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas layanan pengelolaan sampah.  Akan tetapi, implementasi Undang-Undang tersebut masih terkendala karena belum tersedianya peraturan-peraturan pendukungnya. Institusi pengelola sampah di daerah saat ini masih belum berfungsi secara profesional, antara lain ditunjukkan dengan belum adanya manajemen aset dan penyusunan  business plan  yang absah pada Perusahaan Daerah, sedangkan Hal ini terlihat dari jumlah TPA di seluruh Indonesia yang mencapai 378 buah dengan luas 1,886.99 Ha, sebanyak 80,6% masih menerapkan metode  open dumping, 15,5% menggunakan metode  controlled landfill  dan hanya 2,8% yang menerapkan metode  sanitary landfill. Hingga saat ini penanganan sampah masih terfokus pada penanganan timbulan sampah, dan belum pada pengurangan volume sampah dari sumbernya. 

Upaya untuk mengurangi kuantitas sampah sebesar 20% pada periode 2004–2009 juga masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Demikian juga halnya  dengan infrastruktur pengelolaan persampahan yang ada ternyata tidak sebanding dengan kenaikan timbunan sampah yang meningkat 2–4% per tahun, diperburuk dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai TPA. Sedangkan di sisi yang lain percontohan program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) saat ini masih terbatas di 80 kawasan. Rendahnya kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah dalam menerapkan prinsip 3R menyebabkan pengurangan volume timbulan sampah kurang signifikan. Selain itu, upaya pengurangan timbulan sampah melalui pemanfaatan teknologi pengolahan sampah belum dikembangkan.  permasalahan yang muncul pada dinas pengelola sampah bahkan lebih menyeluruh baik berupa alokasi dana yang minim, manajemen yang kurang profesional dan minimnya kualitas sumber daya manusia. Hingga saat ini, sumber pendanaan bagi pengelolaan sampah masih bertumpu pada anggaran pemerintah akibat belum dikembangkannya alternatif sumber pendanaan lainnya, seperti dana masyarakat, kerjasama swasta, baik investasi swasta maupun dana CSR.  Secara keseluruhan sampai saat ini prosentase sistem pengelolaan persampahan telah mencapai 54%, masih di bawah target RPJMN (75% pada 2009) dan MDGs (70% pada 2015).  

1.4     PENGEMBANGAN AIR MINUM  
Cakupan  pelayanan air minum  perpipaan secara  nasional  sampai dengan tahun 2009 sebesar 25,61%, sedangkan capaian  pelayanan  non-perpipaan terlindungi sebesar 22,02%,  sementara itu  total  akses aman  pelayanan air minum secara nasional mencapai 47,63%1 atau dapat melayani 59 juta jiwa. Untuk capaian cakupan pelayanan air minum perpipaan kota  pada tahun 2009  sebesar 35.03% atau telah  dapat melayani 44 juta jiwa dari target MDGs 47,38% tahun 2015, sementara itu capaian pelayanan non-perpipaan terlindungi sebesar 14,76%, sedangkan total akses aman pelayanan air minum perpipaan kota sebesar 49,79%2. Sedangkan capaian pelayanan air minum  perpipaan desa  sebesar 14,29%  atau telah  dapat melayani 15 juta jiwa  pada tahun 2009  dari target MDGs  sebesar 19,76%  tahun 2015, sementara itu capaian pelayanan non-perpipaan terlindungi sebesar 31,36%, sedangkan  total  akses aman pelayanan air minum perdesaan sebesar 45,65%3.                                                
1 Sumber: Data BPS 2009
2 Sumber: Data BPS 2009
3 Sumber: Data BPS 2009 

Akses air minum perpipaan mengalami stagnasi selama kurun waktu 1994-2006, hanya bertambah sekitar 2,18 persen. Pada tahun 2006 yang memiliki akses terhadap sistem perpipaan (PDAM) telah mencapai 18,38 persen dan akses terhadap  sistem non-perpipaan terlindungi sebesar 43,57 persen. Pada tahun 2007 pelayanan air minum perkotaan baru mencapai 45% dan perdesaan 10%, sehingga cakupan pelayanan air minum perpipaan nasional menjadi sebesar 20%. Di tahun 2009 cakupan pelayanan air minum di perkotaan meningkat menjadi 47,23% (44,5 juta jiwa) dari 41% di tahun 2004 (34,36 juta jiwa) sementara di perdesaan telah meningkat dari 8% di tahun 2004 (melayani 10,09 juta jiwa), menjadi 11,55% di tahun 2009 (15,2  juta jiwa). Disisi lain, menurut laporan regional terakhir mengenai status pencapaian MDGs untuk kawasan perdesaan, akses masyarakat terhadap sistem pelayanan air bersih non-perpipaan meningkat dari 38,2% (1994), menjadi 43,4% (2000) dan 57,2% (2006).  

Selain itu, penyediaan air minum berbasis masyarakat yang berpedoman pada Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat saat ini telah berkembang dengan pesat. Kegiatan penyediaan air minum berbasis masyarakat telah  dilaksanakan di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan pendanaan yang bersumber dari anggaran pemerintah maupun pihak lain, seperti lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta (melalui kegiatan  Corporate Social Responsibility) dan masyarakat. Namun dalam implementasinya masih menemui 3-15 kendala yakni ketiadaan peraturan yang mengatur pola kerjasama pemerintah dan masyarakat. Faktor lainnya adalah kualitas sumber daya manusia pada lembaga pengelolanya juga masih rendah. Demikian pula halnya  keterlibatan swasta hingga tahun 2009 masih tergolong rendah, khususnya pada penyediaan prasarana air minum di wilayah perdesaan dan pinggiran kota.  Skema kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS) hingga saat ini belum banyak dilaksanakan oleh pemda maupun PDAM.   

Rendahnya kinerja keuangan PDAM juga menyebabkan PDAM mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan dari pihak lain, seperti lembaga donor maupun pihak perbankan. Sementara sumber pendanaan dari pihak swasta seperti dana  Corporate Social Responsibility  (CSR) masih belum menjadi sumber yang signifikan sehingga pendanaan air minum masih bertumpu pada anggaran Pemerintah. Pada periode 2005-2009 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam pelaksanaannya telah dirumuskan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, termasuk diantaranya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum  Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM), sehingga sistem penyediaan air minum yang efektif dan berkesinambungan telah memiliki rujukan strategis yang jelas. Dalam sektor ini upaya pembinaan terhadap PDAM belum memperlihatkan hasil yang signifikan. seperti tergambar dari 340 PDAM, sekitar 70% kondisinya masih tidak sehat. Ini berarti hanya 79 PDAM yang sehat, sehingga pada tahun 2008, utang non pokok PDAM yang dinyatakan sakit yang mencapai Rp. 3,3 triliun terpaksa dihapuskan. Demikian halnya dengan utang PDAM yang dikategorikan sehat juga dihapus melalui skema  debt to swap investment  yang mencapai Rp. 1,1 triliun. Dengan demikian, jumlah keseluruhan hutang yang dihapus mencapai Rp. 4,4 triliun.  Salah satu penyebabnya adalah sebagian besar PDAM masih menerapkan tarif dasar di bawah biaya produksi air minum. Disamping juga kapasitas sumber daya manusia dan pendanaan yang belum memadai, belum diterapkannya prinsip full-cost recovery  dan manajemen aset sebagai prasyarat manajemen yang baik, serta belum disusunnya  business plan yang absah.  Sementara kinerja pengelola air minum dengan target penurunan angka kebocoran secara nasional baru pada kisaran 6-7% sehingga masih diperlukan  upaya keras untuk mencapai angka 20% yang ditargetkan sebagai angka kebocoran secara nasional oleh RPJMN 2005-2009. Secara total saat ini belum mampu terpenuhi, termasuk kualitas air minum PDAM masih belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. 

Tidak terolahnya limbah domestik dan non-domestik menjadi penyebab utama menurunnya kualitas air baku air minum. Sementara itu, pemanfaatan air yang belum efisien dan masih minimnya pengelolaan air baku pada wilayah hulu dan/atau daerah resapan menjadi penyebab semakin berkurangnya kuantitas air baku air minum. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang  kurang bersinergi dengan konsep pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan pemanfaatan ruang cenderung mengabaikan keberlanjutan ketersediaan air baku bagi daerah hilir. Selain itu, ekstraksi air tanah secara berlebihan oleh rumah tangga dan industri turut mempengaruhi kuantitas dan kualitas air baku.  Penerapan teknologi untuk pemanfaatan sumber air alternatif juga belum dijadikan sebagai suatu upaya alternatif dalam menjaga kuantitas dan kualitas air baku.   

 1.4    PERMASALAHAN UMUM  
Permasalahan dan kondisi pembangunan prasarana dan sarana bidang Cipta Karya terdiri dari permasalahan  umum serta  permasalahan spesifik untuk setiap sektor bidang Cipta Karya (air minum, sanitasi, pengembangan permukiman,  penataan bangunan dan lingkungan).  Adapun permasalahan  umum  dalam pembangunan prasarana dan sarana bidang Cipta Karya yang utama terdiri dari : 
a.  Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi dan belum disertai oleh tingkat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang diakibatkan oleh pertumbuhan urbanisasi tersebut maupun oleh ”backlog” yang sudah ada sebelumnya.
b. Adanya disparitas regional secara ekonomi, dan hal ini sangat terkait dengan tidak meratanya ketersediaan infrastruktur dan layanan bidang Cipta-Karya.
c.  Demikian pula, ketersediaan infrastruktur dan layanan ke-Cipta-Karya-an belum merata ke semua golongan masyarakat (umumnya, golongan masyarakat berpenghasilan rendah belum mendapat layanan yang setara dengan layanan bagi golongan masyarakat berpenghasilan menengah dan atas). 
d.  Degradasi lingkungan perkotaan pada umumnya, dan belum berperannya secara maksimal pembangunan bidang ke-Cipta-Karya-an dalam turut menciptakan kota-kota yang asri dan lestari (berkelanjutan).
e.  Wajah fisik perkotaan yang semakin ”semrawut” akibat belum maksimalnya perencanaan dan penerapan tata-bangunan dan lingkungan kawasan perkotaan. 
f.  Keterbatasan kapasitas daerah dalam penyelenggaraan infrastruktur ke-Cipta-Karya-an padahal bidang ini sudah menjadi salah satu urusan wajib dari pemerintah daerah. 

1.6 PERMASALAHAN PER SEKTOR  
a.  Pengembangan Permukiman.
i.   Masih luasnya kawasan kumuh. 
ii.  Masih terbatasnya Prasarana Sarana Dasar pada Daerah Tertinggal, Pulau Kecil, Daerah Terpencil, dan Kawasan Perbatasan.
iii.  Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial. 

b.  Penataan Bangunan dan Lingkungan.
i.  Penataan Lingkungan Permukiman.
    Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana sistem proteksi kebakaran.
    Belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk lebih melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur guna pengembangan lingkungan permukiman.
    Menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi utama kota, kawasan tradisional bersejarah serta heritage.
   Masih rendahnya dukungan pemda dalam pembangunan lingkungan permukiman yang diindikasikan dengan masih kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal.
ii.  Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara.
   Masih adanya kelembagaan bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien dalam pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara.
   Masih kurangnya perda bangunan gedung untuk kota metro, besar, sedang, kecil di seluruh Indonesia.
   Meningkatnya kebutuhan NSPM terutama yang berkaitan dengan pengelolaan  dan penyelenggaraan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan).
iii.  Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka Hijau.
Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah raga. 
iv.  Kapasitas Kelembagaan Daerah.
  Masih terbatasnya kesadaran aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung termasuk pengawasan.
  Masih adanya tuntutan reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi. 
  Masih perlunya peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan gedung di daerah dalam fasilitasi penyediaan perangkat pengaturan. 

c.  Penyehatan Lingkungan Permukiman.
i.  Sektor Air Limbah.
  Belum optimalnya penanganan air limbah.
  Tercemarnya badan air khususnya air baku oleh limbah. 
  Belum optimalnya manajemen air limbah.
-  Belum optimalnya perencanaan.
-  belum memadainya penyelenggaraan air limbah.
ii.  Sektor Drainase.
  Kapasitas sistem drainase tidak sesuai dengan kondisi saat ini. 
  Belum memadainya penyelenggaraan sistem drainase.
iii.  Sektor Persampahan.
   Makin tingginya timbulan sampah (jumlah penduduk makin tinggi, jumlah sampah per kapita meningkat).
  Belum optimalnya manajemen persampahan.
-  belum optimalnya sistem perencanaan (rencana sampai dengan monitoring dan evaluasi).
-  belum memadainya pengelolaan layanan persampahan (kapasitas, pendanaan dan aset manajemen).
-  belum memadainya penanganan sampah. 

d.  Pengembangan Air Minum.
i.  Kelembagaan dan peraturan perundangan.
  Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggara air minum di daerah.
   Mindset  penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air minum masih harus dirubah.
   Lemahnya fungsi lembaga/dinas di daerah terkait penyelenggaraan SPAM sehingga peran pembinaan pengembangan SPAM menjadi sangat lemah.
  Prinsip pengusahaan belum sepenuhnya diterapkan oleh penyelenggara SPAM  (PDAM), termasuk rekruitmen SDM belum terpadu dengan program pengembangan SDM Penyelenggara SPAM.
  Pemekaran wilayah di beberapa kabupaten/kota mendorong pemekaran badan pengelola SPAM di daerah.
ii.  Terbatasnya pendanaan.
  Penyelenggaraan SPAM mengalami kesulitan dalam masalah pendanaan untuk pengembangan, maupun operasional dan pemeliharaan yang diantaranya disebabkan oleh masih rendahnya tarif dan masih tingginya beban utang.
  Investasi untuk pengembangan SPAM selama ini lebih tergantung dari pinjaman luar negeri daripada mengembangkan alternatif pendanaan dalam negeri.
  Komitmen dan prioritas pendanaan dari pemerintah daerah dalam pengembangan SPAM masih rendah.
iii.  Menurunnya kuantitas air baku.
  Kapasitas daya dukung air baku di berbagai lokasi semakin terbatas akibat pengelolaan daerah tangkapan air yang kurang baik. 
  Kualitas sumber air baku semakin menurun akibat meningkatnya aktivitas dan kegiatan masyarakat dan industri tidak disertai dengan perlindungan terhadap lingkungan. 
  Adanya peraturan perijinan penggunaan air baku di beberapa daerah yang tidak selaras dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga pemanfaatan air baku yang lintas wilayah seringkali menimbulkan konflik.
  Belum mantapnya alokasi penggunaan air baku sehingga menimbulkan konflik kepentingan di tingkat pengguna.
iv.  Masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan.
  Tingkat kehilangan air pada sistem perpipaan berkisar antara 10%-50% dengan kehilangan rata-rata sekitar 37% pada tahun 2004 dan tekanan air pada jaringan distribusi umumnya masih rendah. 
  Pelayanan air minum melalui perpipaan masih terbatas untuk masyarakat menengah ke atas di perkotaan, sementara pelayanan air minum untuk masyarakat miskin selain belum memadai, juga harus membayar lebih mahal.
v.  Masih rendahnya partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan air minum.
e.  Pengembangan Kelembagaan.
i.   Belum optimalnya perencanaan pengembangan sumber daya manusia.
ii.  Belum memadainya struktur organisasi yang responsif terhadap tantangan pembangunan bidang Cipta Karya.
iii. Belum tersusunnya tata laksana organisasi yang sesuai dengan prinsip good governance untuk meningkatkan daya saing kota/kabupaten.
iv. Belum efektifnya  pengembangan tim koordinasi pembangunan kota/kabupaten/provinsi  dalam pengembangan prasarana bidang  Cipta Karya. 

  1.7 TANTANGAN     
Berdasarkan permasalahan dan kondisi yang ada, maka tantangan dalam pembangunan infrastruktur permukiman adalah sebagai berikut :
a.  Meningkatkan keterpaduan pembangunan  prasaranan dan sarana bidang permukiman (Cipta Karya). 
b.     Meningkatkan kesadaran  masyarakat terhadap aspek kesehatan.
c.      Memperluas akses pelayanan prasarana dan sarana bidang permukiman (Cipta Karya).
d.            Meningkatkan keterlibatan dunia  usaha (swasta) dan  masyarakat dalam pendanaan  pembangunan prasarana dan sarana bidang  permukiman (Cipta Karya).  

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus