Kamis, 11 Oktober 2012

PERANAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN


Pembangunan  infrastruktur  bidang  Cipta Karya  (Permukiman) mempunyai manfaat langsung untuk peningkatan taraf hidup masyarakat dan kualitas lingkungan, karena semenjak tahap konstruksi telah dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekaligus menggerakkan sektor riil. Sementara pada masa layanan, berbagai  multiplier  ekonomi dapat dibangkitkan melalui kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur. Infrastruktur  bidang  Cipta Karya  (Permukiman)  yang telah terbangun tersebut pada akhirnya juga memperbaiki kualitas permukiman.   

Dengan demikian, pembangunan  infrastruktur  bidang Cipta Karya (Permukiman)  pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai 3 (tiga) strategic goals  yaitu: a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi  kota dan desa, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi desa dan meningkatkan akses infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi lokal;   b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan    memperluas lapangan kerja;  c) meningkatkan kualitas lingkungan,  yang bermaksud  untuk mengurangi luas kawasan kumuh, meningkatkan  kualitas penyelenggaraan penataan kawasan permukiman dan meningkatkan pelayanan infrastruktur permukiman. Untuk mewujudkan tiga  strategic goal  di atas  tugas  pembangunan infrastruktur  bidang Cipta Karya  (Permukiman)  diwujudkan  dengan dua pendekatan:    i) pendekatan skala kabupaten kota melalui tugas pengaturan, pembinaan dan pengawasan bidang permukiman;                 ii) pendekatan skala kawasan melalui  tugas  pembangunan infrastruktur bidang permukiman.
 
ISU STRATEGIS
Isu Strategis Pembangunan Bidang Cipta Karya 2010-2014 meliputi  isu-isu baru dan penting yang diperkirakan akan memberikan dampak potensial bagi pelayanan prasarana dan sarana permukiman bidang Cipta Karya pada kurun waktu lima tahun mendatang, yaitu meliputi: 

a.  Proporsi penduduk perkotaan yang bertambah
Saat ini arus urbanisasi perkotaan mengalami peningkatan yang amat tajam. Proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan meningkat dari 35,9 persen pada tahun 1995 menjadi 48,3 persen pada 2005. Diperkirakan tren  yang berkembang akan terus terjadi sehingga sebelum tahun 2010 jumlah penduduk perkotaan secara nasional telah melampaui jumlah penduduk perdesaan, dan diperkirakan pada tahun 2025 nanti 68,3 persen penduduk Indonesia akan mendiami kawasan perkotaan. Fenomena ini bisa kita sikapi melalui dua pendekatan, yaitu sebagai sinyalemen berkembangnya aktivitas di perkotaan yang tentunya merupakan indikasi bangkitnya perekonomian negara. Tetapi di sisi lain,  hal ini juga mengindikasikan kuatnya pengaruh kota, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan wilayah yang tidak konstruktif antara kota besar-kota menengah atau antara kota-desa.  Proses  urbanisasi yang terjadi saat ini lebih banyak didorong oleh terbatasnya  lapangan kerja di daerah perdesaan. 

b.  Angka kemiskinan perkotaan yang masih tinggi.
Urbanisasi yang tinggi seringkali diikuti oleh meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, akibat ketiadaan lapangan pekerjaan, tingginya standar kehidupan di perkotaan dan  lain sebagainya. Di tahun 2006 angka kemiskinan di kawasan perkotaan naik menjadi 14,29 juta jiwa dari sebelumnya sebesar 12,4 juta jiwa penduduk pada tahun 2005. Jumlah penduduk miskin yang besar dapat berakibat pada meluasnya kawasan kumuh di perkotaan yang berujung pada ketidakmampuan pemerintah kota menuju kota yang layak huni. Saat ini sekitar 18% atau 21,25 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di kawasan kumuh yang terletak di kawasan perkotaan dengan luas mencapai sekitar 42.500 Hektar.  Data  BPS  menunjukkan bahwa sekitar 14 % dari total perumahan di Indonesia merupakan kawasan kumuh perkotaan, yang rata-rata terletak di bantaran sungai dan tepi pantai. Hal ini menjadi perhatian utama dalam rangka pencapaian MDG tujuan ke tujuh yaitu memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sasaran ke 11; Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020. Kenyataannya rata-rata kawasan kumuh terletak di perkotaan, maka oleh karena itu Pemerintah menaruh perhatian besar pada penanganan kawasan kumuh di kawasan perkotaan. 

c.  Kota Sebagai Engine of Growth
Perkembangan ekonomi perkotaan terkait dengan perkembangan ekonomi nasional dan juga sebaliknya. Dalam studi yang dilakukan Bappenas di tahun 2003 dikemukakan peranan perkotaan yang sangat signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya peranan kota-kota besar dengan jumlah  penduduk di atas 700 ribu dan kota menengah dengan jumlah penduduk antara 200 ribu dan 700 ribu. Kota-kota besar dan menengah yang berjumlah 37 kota, atau 9% dari total jumlah daerah, mempunyai sumbangan 40% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sedangkan bila dipisahkan kota-kota besar saja, yang hanya berjumlah  14 kota saja, atau hanya 3,4% dari total jumlah daerah, mampu menyumbang 30% dari total PDB  nasional. Berdasarkan  data-data  di atas sudah sangat jelas bahwa kota merupakan motor dari pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu,  ketika terjadi krisis ekonomi, kota sebagai  “back bone” dari  kerangka ekonomi nasional juga mengalami kontraksi yang parah. 
 
d.  Desentralisasi
Era desentralisasi yang berjalan membawa dampak yang teramat besar bagi perkembangan perkotaan di Indonesia. Perubahan ini terlihat pada beberapa kota yang perkembangannya bergerak menjadi  lebih besar. Perkembangan ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan internal dan eksternal kota. Persebaran kota di Indonesia saat ini lebih banyak terpusat di Pulau Jawa, dengan 32 dari 91 kota administratif berada di  pulau Jawa. Angka ini bisa bertambah apabila kita mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan yang merupakan kawasan perkotaan terletak di wilayah administratif Kabupaten. Pembangunan perkotaan yang pada awalnya dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Pusat berubah. Saat ini Pemerintah Daerah memegang peranan utama dalam mengarahkan pembangunan perkotaan. Implikasi dari ini, strategi pembangunan perkotaan yang skala nasional tidak bisa serta merta diimplementasikan ke daerah. Pola pembangunan perkotaan saat ini tentunya menekankan kepada optimalisasi sumber daya lokal yang kompetitif. Di satu sisi, Desentralisasi berhasil membawa Pemerintah Daerah dalam nuansa kompetisi yang kondusif untuk mendorong pembangunan perkotaan di masing-masing daerah. Akan tetapi di sisi lain, pembangunan yang ekspansif dan tidak terencana justru membahayakan daya dukung kota, terutama di Kota Besar dan Metropolitan. 

e.  Kerusakan Lingkungan Hidup
Kerusakan lingkungan hidup perkotaan berkaitan dengan meningkatnya penggunaan ruang dan sumber daya alam di permukaan, di bawah dan di atas tanah kawasan perkotaan yang tidak terkendali. Misalnya, penggunaan air tanah yang sudah berlebihan menyebabkan sulitnya masyarakat memperoleh air bersih, sementara penyediaan air bersih oleh PDAM belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Pemenuhan kebutuhan air bersih oleh masing-masing rumah tangga  sekarang  sudah  ini mengharuskan pemasangan pipa penyedot sampai 2-5 puluhan meter di bawah tanah, hal tersebut terasa sulit terutama di lingkungan perumahan padat penduduk seperti kawasan perumnas dan BTN, yang kavling tanahnya kecil-kecil. Demikian pula dengan masalah lalu-lintas di kawasan perkotaan yang belum dapat tertangani dengan baik, sehingga kemacetan lalu-lintas dan kecelakaan lalu-lintas sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari. Persoalan tersebut merupakan bagian dari persoalan pemborosan potensi kemampuan Pemerintah Daerah dalam pembangunan perkotaan. Fakta lain yang cukup menonjol yang sedang terjadi sekarang ini adalah adanya kota-kota baru dari semula berupa pusat-pusat permukiman  transmigrasi. Kecenderungan ini tentunya akan memakan anggaran pembangunan, yang mungkin saja tidak sebesar biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas pelayanan perkotaan yang sudah ada, selain berpotensi merusak keasrian lingkungan hidup. 

f.  Daya Saing Kota dan Demokratisasi
Di era globalisasi saat ini, kota-kota di Indonesia tidak hanya harus bersaing dengan kota di dalam negeri semata, persaingan terjadi dengan kota-kota di skala Asia bahkan dunia. Bentuk persaingan pun bergeser dari yang sebelumnya berkutat pada  comparative advantage menuju ke era  competitive advantage. Di masa lalu, daya saing sebuah kota ditentukan oleh jumlah tenaga kerja (sumber daya manusia) dan sumber daya alam yang dimiliki. Saat ini variabel bertambah menjadi tingkat kelayakhunian kota yang direpresentasikan dalam infrastruktur pendukung dan pelayanan perkotaan. Sebuah kota harus mampu berlomba-lomba menunjukkan tidak hanya sebagai sebuah kota yang layak huni akan tetapi sebuah kota yang mampu mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan kesehariannya. Nilai-nilai demokrasi harus mampu diterjemahkan oleh  masing-masing kota. Hal-hal inilah yang kemudian memberikan nilai tambah dan daya saing bagi sebuah kota untuk menarik investasi dari luar. 

g.  Konteks Kota Berkelanjutan
 Dilihat dari aspek  equity  dapat dikatakan kondisi perkotaan di Indonesia masih cenderung pada kondisi  in-equity. Kota-kota baru dengan pelayanan yang luar biasa, dengan kualitas yang baik, namun di lain pihak masyarakat miskin harus membayar lebih dalam memperoleh pelayanan perkotaan. Aspek budaya, dalam konteks  diversity, perlu menjadi pertimbangan dalam pembangunan.  Diversity  masyarakat perkotaan yang tinggi harus dapat diakomodasi oleh pelayanan perkotaan.  Urban heritage  saat ini  masih dapat dikategorikan belum  concern  terhadap bangunan bersejarah. Ekologi (dalam kualitas lingkungan yang perlu dipertahankan) dan ekonomi kota diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang, dengan daya beli masyarakat yang cukup dalam memenuhi kehidupan yang layak. 

h.  Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan tantangan bagi kita, dan memang tidak hanya sekarang, namun ini perlu diperhitungkan secara cermat dalam konteks pembangunan perkotaan. Dampak perubahan iklim dengan intensitas hujan yang meningkat, dan meningkatnya permukaan air laut, dapat menyebabkan permasalahan tersendiri. Peran infrastruktur menjadi penting dalam mitigasi perubahan iklim.  2-7 

i.  Perwujudan RTH 30%
Upaya perwujudan RTH sebesar 30% merupakan tantangan besar, komposisi 30% memang merupakan kebijakan yang kondusif bagi lingkungan, namun di lain pihak dianggap merupakan permasalahan yang signifikan dalam menyelenggarakan pembangunan perkotaan. Ini merupakan salah satu tantangan dari perundangan yang menjadi masalah dalam tataran implementasi.  

j.  Modal Sosial
Dalam konteks pembangunan perkotaan saat ini yang menjadi masalah bukan pada modal finansial, namun perlu dilihat pada tataran modal sosial. Apapun yang kita lakukan, apabila aspek modal sosial tidak diperhitungkan, maka investasi yang dilakukan tidak mendorong peningkatan kesejahteraan. 

k.  Happiness Index
Tujuan pembangunan harus ditambahkan dengan  overall human system well being  dengan  eco system well being. Hal yang tidak dapat dielakkan adalah “pembangunan terintegrasi” yang mampu mengintegrasikan  human system, ekosistem, yang bermuara pada human-eco happiness. Oleh karena itu dibutuhkan koordinasi yang kuat antar instansi pemerintah, agar mampu meningkatkan efektivitas pembangunan dalam mendorong peningkatkan kesejahteraan dan “kebahagiaan masyarakat” dalam merasakan dan menikmati hasil pembangunan yang dilakukan. Pelaksanaan pembangunan harus melihat peningkatan  human system, eco system dan human-eco happiness, yang diukur dengan happiness Index.  

l.  Branding dan Area Identity
Direktorat Jenderal Cipta Karya harus mampu mendorong  branding  dan  area identity dari sebuah kota dan wilayah. Indonesia yang mempunyai multiple culture  diversity yang perlu dioptimalkan pada tataran ekonomi. Sumberdaya alam, invovasi, fasionable, local value with modern spirit perlu diintegrasikan dalam ekonomi kreatif yang mampu mendorong daya saing kota-kota. 

m.  Participatory Development 
Pendekatan  participatory development, jangan hanya diartikan dengan  self helped, dan untuk itu perlu didukung dengan adanya tenaga pendamping yang mendorong dan memberdayakan masyarakat. Proses pembangunan seringkali tidak mengedepankan local wisdom, sehingga tidak mengakomodasikan budaya lokal.  

n.  Pengembangan Enterpreneurship
Secara umum ada tiga tipe pemberian pemerintah kepada masyarakat:
    Charity, dengan memberikan  one shot giving  dan cenderung kurang mendidik;
    Philantropy, dianggarkan tiap tahun dan dilakukan secara terus menerus;
  Social entrepreneurship, bagaimana pemerintah membangun, dan masyarakat kemudian mampu memelihara dan mengembangkan secara mandiri. Isu keberlanjutan yang menjadi penting, dan mengedepankan keberlanjutan hasil pembangunan.
Direktorat Jenderal Cipta Karya diharapkan mampu untuk mengimplementasikan succesfull entrepreneurship yaitu dengan: i) Merubah dengan cara yang baik (change friendly), dengan mendorong masyarakat untuk berubah tanpa menimbulkan konflik; ii) Berorientasi pada kesempatan (opportunity oriented); iii) Inovatif; iv) Banyak Akal; v) Menciptakan nilai baru. 

o.  Pengembangan Ekonomi Kreatif dengan Pengembangan Nilai Tambah
Dalam menjawab tantangan ke depan, kita harus mampu mempertahankan cultural expression  yang mampu mendorong berkembangnya ekonomi kreatif yang menjadi daya saing bangsa. Oleh karena itu kedepan harus diupayakan mendukung ekonomi kreatif yang didukung dengan desain yang baik, serta didukung dengan marketing yang terintegrasi. Kebijakan pemerintah diharapkan harus mampu menjembatani dalam mengekplorasi pasar pada tataran internasional. Konsep branding  dan  packaging  menjadi lebih penting dalam mendukung konteks dalam mendorong daya saing ekonomi kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar