Di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, di
Jalan Kramat 106), Jakarta, milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, 28
Oktober 1928, para tokoh pemuda mengucapkan apa yang kelak disebut sebagai
Sumpah Pemuda. Pertama: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe Tanah Indonesia”. Kedua: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa satoe Bangsa Indonesia”. Ketiga: “Kami Poetra dan Poetri
Indonesia, mengakoe mendjoendjoeng Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia”.
Pertemuan yang merupakan Kongres Pemoeda II itu dihadiri oleh sejumlah utusan
seperti Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemoeda Kaoem Betawi, dan
PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, yang merupakan wadah pemuda
nasionalis radikal non-kedaerahan seperti Soegondo
Djojopoespito, Suwirjo, S.
Reksodipoetro, Muhammad Yamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir
Sjarifudin). Dari golongan Tionghoa hadir empat orang, yakni Kwee Thiam Hong,
Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hock, dan Tjio Djien Kwie.
Sejak itu berdirilah organisasi-organisasi baru. Di Bandung, para pemuda yang
tergabung dalam kelompok studi umum mendirikan organisasi Jong Indonesia pada
20 Februari 1927. Organisasi ini dimotori oleh Mr Sunario, RM Joesoepadi
Ganoehadiningrat, Soegiono, dan Mr Sartono. Kemudian berdiri pula Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, dengan tokoh utamanya Ir Soekarno,
serta Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
pada 17 Desember 1927. Sebelumnya berdiri Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia)
pada 7 Maret 1915 dengan motor utama Satiman Wirjosandjojo. Lalu Jong
Sumatranen Bond pada 9 Desember 1917 dengan tokoh utama Tengkoe Mansoer,
Muhammad Anas, Abdul Moenir Nasution, Kamun, dan Muhammad Amir. Sementara di
Belanda sendiri Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging
(Perhimpunan Indonesia) pada 1 Maret 1924 dengan tokoh utama Mohammad Hatta.
Akan halnya Tri Koro Dharmo, pada kongres pertama di Solo, 12 Juni 1918,
berubah menjadi Jong Java.
Kongres Pemuda II membicarakan masalah peranan pendidikan kebangsaan dan
kepanduan dalam menumbuhkan semangat kebangsaan. Tampil sebagai pembicara saat
itu adalah Muhammad Yamin, Purnamawulan, Sarmidi Mangunsarkoro, Ramlan, Theo
Pangemanan, dan Mr Soenario. Walaupun mendapat gangguan dari Polisi Rahasia
Belanda, kongres tersebut berhasil membuahkan keputusan yang sangat fenomenal,
yaitu Sumpah Pemuda. Pada saat yang sama diperkenalkan lagu Indonesia Raya
karya Wage Rudolf Supratman, yang kemudian dijadikan lagu kebangsaan Indonesia.
Kesepakatan yang dicapai dalam Putusan Kongres Pemuda II itulah yang membuat
pergerakan para pemuda semakin menemukan arah yang jelas dalam perjuangannya
demi mencapai Indonesia Merdeka. Faktor penggeraknya, tiada lain, adalah
persatuan. Para pemuda dari berbagai golongan etnik dan daerah yang mulanya
berserakan sebagai entitas yang berbeda-beda itu berkomitmen untuk bersatu
dalam tiga hal: nusa, bangsa, dan bahasa. Sebenarnya, secara politik, itulah
momentum kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa baru. Artinya, selama
ratusan tahun sebelum itu, yang ada hanyalah embrio-embrio keindonesiaan. Namun
sejak 28 Oktober 1928, sejak Indonesia menjadi bangsa baru, kita sekaligus
memiliki spirit dan modalitas yang besar dalam meraih cita-cita di depan.
Itulah soliditas kebersatuan, yang berlandaskan kesamaan “nusa, bangsa, dan
bahasa”. Di atas ketiga pilar itulah tekad para pendiri bangsa Indonesia
dipatri dalam-dalam.
Adakah pilar lain yang mempersatukan bangsa besar yang berpenduduk amat banyak
dan terserak dari Sabang sampai Merauke ini? Secara politik tidak ada, karena
faktanya kita memang belum pernah lagi bersumpah satu untuk pilar yang lain di
luar ketiga pilar itu. Kalaupun ada, itu adalah Pancasila sebagai dasar negara
yang juga telah ditetapkan sebagai sumber hukum dan UUD 45 sebagai konstitusi
sekaligus hukum yang tertinggi secara hirarkis di antara produk-produk hukum
lainnya, sesuai Tap MPRS XX/MPRS/1966 yang mengantarkan Indonesia ke era Orde
Baru, yang kelak diperbarui lagi dengan Tap MPR III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan UU No. 10 Tahun 2004
tentang Tata Urutan Perundangan.
Itulah landasan berpijak Indonesia di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan
untuk bersatu dan tetap bersatu. Berdasarkan itu dapat diprediksi bahwa
Indonesia dengan sendirinya akan berubah jika kita berupaya menambahkan
unsur-unsur yang lain sebagai perekat kesatuan dan kebersatuannya. Integrasi
nasional niscaya terancam gejolak disintegrasi maupun separatisme jika
unsur-unsur yang lain itu dipaksakan.
Pertanyaannya, apakah integrasi nasional yang telah sekian lama dibangun di
atas landasan tersebut membuat rakyat Indonesia terbelenggu secara politik?
Faktanya tidak. Bahkan sebaliknya, rakyat Indonesia kian lama kian menikmati
kebebasannya. Terbukti partisipasi politik rakyat justru kian meningkat dari
era ke era. Tak heran, sebab di sisi lain Indonesia juga semakin berkembang
menjadi negara modern secara politik. Dengan kata lain, Indonesia kini semakin
demokratis.
Itulah, antara lain, hasil dari pembangunan politik yang selama ini dilakukan
oleh segenap kekuatan politik dan komponen bangsa. Dari eksperimentasi
“demokrasi terpimpin” yang dictablanda (dikuasai diktatur) di era Orde Lama, ke
“demokrasi Pancasila” yang democradura (partisipasi politik yang sangat
dibatasi) di era Orde Baru, kini Indonesia telah tiba di tahapan the maturation
of process of democracy (proses menuju kematangan demokrasi).
Memang, demokrasi sendiri bukanlah sebuah sistem politik yang terbaik. Secara
politik ia bahkan terkadang melelahkan dan bertele-tele. Namun, di sepanjang
sejarah dan perkembangan peradaban masyarakat dunia, ia terbukti sebagai sistem
yang paling mampu bertahan dan terus-menerus dikembangkan. Mahathir Mohamad
dalam Achieving True Globalisation (2004), mengatakan demikian: “Democracy, at
least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect
one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood,
however, and freedom misinterpreted, the result is anarchy.”
Harus diakui bahwa tak satu pun hasil olah pikir manusia yang sempurna.
Begitupun demokrasi. Filsuf terkemuka Karl Popper mengatakan bahwa demokrasi
bukanlah narasi agung tentang masyarakat sempurna. Narasi agung cenderung
menolak potensi salah di dalam dirinya, sehingga tak mungkin difalsifikasi.
Sedangkan di dalam demokrasi, potensi salah diakui. Dari eksperimentasi inilah
demokrasi akan terus begerak maju. Sementara di sisi lain demokrasi memiliki
kelebihan yang tak dimiliki oleh sistem-sistem lainnya. Itulah kebebasan, yang
membuat setiap orang dapat menikmati kediriannya dan mengembangkan segenap
potensinya.
Maka, dengan pengakuan akan kelebihan demokrasi itulah Indonesia ke depan harus
tetap bertahan dengan Sumpah Pemuda. Kita tak sekali-kali boleh
mengkhianatinya. Sumpah untuk bersatu dalam “nusa, bangsa, dan bahasa”
Indonesia itu masih tetap relevan hingga kini. Tak perlu dan tak guna
menambahkah unsur yang lain ke dalam “sumpah satu” itu. Alih-alih memperkuat
integrasi nasional, risikonya justru dapat membuat Indonesia terpecah-belah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar