Judul Asli
|
:
|
|
Penulis
|
:
|
Ir. Soekarno
|
Penerbit
|
:
|
PT. Gunung Agung Tbk. Jakarta
2001
|
Cetakan
|
:
|
II
|
Tebal
|
:
|
(xi + 204) halaman
|
Perenungan atas pledoi (pembelaan)
Bung Karno dkk membawa kepada perasaan yang mendalam kuatnya kesadaran
ideologis para Bapak Bangsa Indonesia
dan keteladanan atas pemahaman para pemimpin Bangsa akan realias nasib bangsa, yang
terkungkung oleh penjajahan yang bersifat sistemik, menyentuh aspek budaya,
semangat, kesadaran bahkan eksistensi kemanuasiaan rakyat Indonesia .
Penangkapan Bung Karno dkk
merupakan bagian dari sikap pemerintah kolonial yang sangat represif terhadap
pergerakan nasionalis Indonesia .
Sikap represif ini semakin kuat karena
dipicu oleh pemberontakan PKI tahun 1926, dan semakin meluasnya dukungan
terhadap pergerakan nasionalis Indonesia .
Pengadilan yang disiapkan dengan rapi oleh alat-alat kekuasaan
kapitalis-kolonialis Belanda, yang ditujukan untuk mengadili para pimpinan PNI,
pada hakekatnya merupakan pengadilan terhadap rakyat Indonesia . Namun kemampuan Bung
Karno yang brilyan akhirnya berhasil menjungkirbalikkan pengadilan kolonial
dari pihak yang menuntut dan mengadili menjadi pihak yang dituntut dan diadili.
Pledoi Bung Karno yang bernilai gugatan dan dakwaan yang kemudian menjelma
menjadi risalah Indonesia Menggugat itu menggegerkan seantero Hindia Belanda
dan menarik perhatian seluruh dunia baik Barat maupun Timur.
Di bagian pendahuluan pledoi ini, berawal dari
penangkapan Bung Karno bersama dengan Gatot Mangkoepradja, Maskoen
Soemadiredjo, dan Soepriadinata pada tanggal 29 Desember 1929, karena dituduh
menyebarkan ketidaktenteraman pada masyarakat luas sebagaimana yang dituduhkan
melanggar pasal 169 bis 153 bis KUHP zaman kolonial, suatu pasal yang menurut
Bung Karno dkk merupakan pasal karet yang melebihi “aturan karet yang kelewatan
karetnya” (hal 4). Positioning Bung Karno dkk menempatkan pengadilan
tersebut sebagai pengadilan politik. Posisioning ini akhirnya menjadi
dasar legitimasi Bung Karno dkk “untuk memasukkan soal-soal politik, untuk
menjelaskan panjang lebar tentang keyakinan politik, asas, sifat dan aksinya
PNI” (hal 3). Sangkaan dan dakwaan yang
dituduhkan kepada Bung Karno dkk dijawab dengan mengemukakan beberapa dalil
dari beberapa buku, yang menurut Bung Karno membuktikan bahwa apa yang mereka
sampaikan “bukan isapan jempol kami sendiri, tetapi bersendi atas pengetahuan
orang-orang bijaksana dan tulus hati” (hal 5).
Bung Karno mengakui bahwa walaupun mereka terkenal sebagai pengritik
nasib negeri dan rakyatnya, namun tidak pernah mengucapkan kritik yang palsu.
Mereka tidak meninggalkan sikap yang adil, yang menurut Bung Karno, akan
mendapatkan bukti-bukti di dalam dalil-dalil itu dan sedikit angka-angka yang
nyata (hal 6).
Di bagian kedua dari
pledoinya, Bung Karno menjelaskan secara mendalam tentang apa itu imperalisme
dan kapitalisme, sekaligus sebagai pembelaan atas gencarnya tuduhan bahwa
seruan “kapitalisme harus dilenyapkan, rubuhkanlah imperalisme” dituduhkan
sebagai sikap benci dan upaya untuk melenyapkan pemerintahan Belanda dan bangsa asing lainnya. Perjuangan
melawan kapitalisme dan imperialisme bukanlah berarti membenci atau melawan
bangsa asing, bukan pula berarti merobohkan pemerintahan Belanda. Karena itulah
Bung Karno menjelaskan bahwa kapitalisme adalah suatu paham, suatu sistem
pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan dari alat-alat produksi. Kapitalismelah
yang menyebabkan akumulasi kapital dan mempunyai arah untuk memelaratkan kaum
buruh. Imperalisme juga berarti suatu paham, suatu sistem mempengaruhi
ekonomi bangsa lain atau negeri, suatu sistem mngendalikan ekonomi bangsa atau
negeri lain (hal 8). Oleh sebab itu imperalisme terdapat di semua jaman
“perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh
pada imperalisme itu (hal 9).
Lebih lanjut Bung Karno banyak
mengemukakan pemikiran-pemikiran orang bijak
yang mengungkapkan hal serupa bahwa imperialisme merupakan suatu kejadian
dimana kapital besar suatu negeri yang biasanya dikuasai oleh bank-bank,
mempergunakan politik luar negeri dari negeri itu untuk kepentingannya sendiri
(hal 11). Namun pada akhirnya Bung Karno menyimpulkan bahwa bahwa
imperialisme manapun juga (imperialisme tua sekitar abad 16-18 dan imperialisme
modern pada abad 19, 20) pada hakekatnya merupakan “nafsu untuk melancarkan
tangan keluar pagar negeri sendiri, nafsu untuk mencari rejeki” dan ini
sekaligus menolah teori bahwa imperialisme didorong oleh bangsa Eropa, Amerika
dan Jepang untuk mengejar kemashuran atau oleh keinginan menyebarkan kemajuan
dan kesopanan. Karena itulah sebagai sebuah nafsu, imperialisme modern yang
merupakan anak dari kapitalisme modern ini semakin berkembang dan berubah
menjadi “balapan mencari jajahan”.
Dibagian ketiga, Bung
Karno menjelaskan imperialisme di Indonesia didorong oleh persaingan
hebat di perdagangan internasional, yang melahirkan sistem monopoli perdagangan
di daerah negeri jajahan. Demi menjaga kekuasaan monopoli maka “Ribuan jiwa
manusia di kepulauan Maluki dibinasakan,
kerajaan-kerajaan dihancurkan, kerajaan Makasar ditaklukkan, perdagangan
dipadamkan dan politik devide at impera diterapkan di tanah Jawa” (hal
26). Seluruh politik monopoli itu “sampai kini hari masih tampak dalam
susunan pergaulan hidup Indonesia ”.
Terhadap realitas buruknya dampak monopoli dengan berbagai bentuknya, termasuk cultuurstelsel,
dilakukan dengan menampilkan dalil-dalil dari intelektual Eropa. Bahkan
kesaksian Prof. Gonggrijp dalam bukunya “Economische Geschiedenis Nederlandsch
Indie” hal 123 menampilkan kekejaman cultuurstelsel: “Kerap kali terjadi
bahwa perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras” (hal
31). Dampak ini semakin hebat hingga mempengaruhi pola pikir dan semangat bumi
putera, seperti yang diceritakan oleh Stokvis: “Ketakutan kepada
kepala-kepalanya telah merasuk kedalam jiwa mereka; Kepala-kepalanya itu
belajar takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat merdeka
yang tadinya masih hidup dalam hati
sanubari bangsa Jawa, kini telah hilang lenyap…” (hal 33).
Dipenjelasan selanjutnya Bung
Karno menyampaikan wajah imperialisme modern di Indonesia yang ditandai dengan
semakin derasnya modal partikelir di Indonesia pada tahun 1870. Tidak jauh
berbeda dengan imperialisme kuno melaui VOC dan cultuur Stelsel, watak
imperialisme modern ini tetap menampakkan wajah aslinya, yang berubah hanya
cara pengedukan rezeki. Bung Karno
sekali lagi dengan menggunakan berbagai dalil dari orang bijak mengatakan bahwa
berbagai “kemajuan” yang dilakukan dengan membangun sistem irigasi, fasilitas
jalan kereta api, pelabuhan dll, hanya “menjadi jalan untuk memeras lebih banyak hasil-hasil dari negeri
yang miskin” dan “kesejahteraan bukannya maju, malah menjadi mundur” (hal 41).
Menurut Bung Karno, kuatnya
hisapan imperialisme modern di Indonesia ini terutama karena sifat imperialisme
yang membikin Indonesia
menjadi daerah eksploitasi dari kapital-kapital asing. Data perbandingan
kelebihan nilai eksport menunjukkan bukti eksploitasi yang sangat besar dari f
25.000.000,- pada tahun 1880-an menjadi f 1.426.000.000,- pada tahun
1919, suatu peningkatan yang berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan
bangsa Indonesia, dan yang ada hanyalah “pemerasan orang yang tidak punya
apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang-orang yang memegang kapital, yakni
mengenggap kekuasaan” (hal 46). Banyak sekali dalil-dalil yang diungkapkan oleh
Bung Karno, yang kesemuanya itu berdasarkan realitas bahwa “imperialisme modern
membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka
dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa”.
Bung Karno sangat menyadari
realitas penderitaan rakyat Bumiputra. “Hati Nasional tentu berontak atas
kejahatan imperialisme modern itu” (hal 57). Lebih lanjut di dalam bagian
ke empat pledoinya Bung Karno menjelaskan pergerakan di Indonesia yang
bangkit karena persaaan teraniaya oleh suatu daya angkara murka yang berupa kapitalisme dan imperialisme.
Disinilah Bung Karno percaya bahwa “tidak ada kekuatan duniawi yang bisa
memadamkan semangat suatu bangsa”. Pendapat ini diperkuat oleh Ir. Albarda yang
sejak dini sebenarnya sudah memperingatkan pemerintahan Belanda bahwa
pergerakan di Indonesia
tidak bisa dihadapi oleh sikap keras untuk melawan gerakan kaum nasionalis.
Demikian pula Dr. Kraemer yang memperingatkan adanya pengaruh gerakan dari kaum
intelektual Indonesia
terhadap “rakyat murba yang diam”, yang ikut mendidih dalam kancah pergolakan
itu. Lebih lanjut Bung Karno menegaskan bahwa pergerakan rakyat Indonesia
bukanlah karena bikinan kaum penghasut sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah
Belanda. Namun yang terjadi pergerakan yang ada merupakan antitesa terhadap
imperialisme dan muncul karena imperialisme sendiri, karena penderitaan –
penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan karena sistem drainase ekonomi
yang semenjak berabad-abad telah bekerja di negeri ini (hal 66).
Bagian ke lima pledoinya, Bung Karno secara gamblang dan
lugas menjelaskan tentang asas Partai Nasional Indonesia, yang berkeyakinan
bahwa syarat yang amat penting untuk perbaikan kembali semua susunan pergaulan
hidup Indonesia ialah kemerdekaan Indonesia (hal 71). Bung Karno menegaskan
bahwa asas ini dalam hakekatnya tidak berbeda dengan asas perjuangan kaum buruh
Eropa dan Amerika dan selanjutnya dengan tepat menganalogikan perjuangan kaum
buruh yang berusaha mendapatkan kekuasaan pemerintahan dengan situasi rakyat
terjajah yang hanya bisa mematahkan perlawanan kaum imperialisme dengan mengambil
kekuasaan pemerintah, yakni dengan mengambil kekuasaan politik, yang artinya
adalah mencapai kemerdekaan Indonesia
(hal 72). Bagi PNI tekat mengejar kemerdekaan nasional adalah buntut dan syarat
bagi suatu perjuangan kontra imperialisme. Terhadap keyakinan ini PNI juga
mendapatkan pembenaran dari pemimpin-pemimpin besar di negeri-negeri lain
seperti Mesir, Filipina, Irlandia, India dan Tiongkok yang menegaskan bahwa
“imperialisme baru bisa dilawan seluas-luasnya apabila kekuasaan politik berada
ditangan kita” (hal 83).
Bung Karno juga menolak anggapan
bahwa sistem imperialisme akan berhenti dengan dirinya sendiri dan memberikan
suatu kemerdekaan sebagai anugrah yang berharga. Anggapan ini bertentangan
dengan realitas imperialisme itu sendiri yang memiliki kepentingan-kepentingan
yang berlawanan pergerakan nasional. Kerena itulah PNI di dalam mengupayakan
kekuasaan politik percaya kepada usaha sendiri. Kekuasaan politik,
kemerdekaan, hanya bisa diusahakan oleh usaha rakyat Indonesia sendiri. Upaya ini secara
pasti akan dihalang-halangi oleh kaum imperialisme, bahkan mereka mengadakan
pers yang tiada moral dan tiada kesusilaan, kecuali hasrat untuk mencari fulus.
Hakekat kepentingan yang serba berlawananan ini yang akhirnya dirumuskan
sebagai sifat PNI yang non
cooperation, yang dilambangkan dengan kepala banteng.
Di dalam menjawab tuduhan bahwa
tiap partai yang memperjuangkan kemerdekaan akan melakukan pemberontakkan jika
kemerdekaan tidak diberikan, Bung Karno dengan tegas menjungkirbalikkan logika
itu dengan menegaskan dalil-dalil yang disampaikan intelektual seperti Albarda
cs dan Stokvis cs. Kesempatan ini justru dipergunakan Bung Karno untuk
mengaskan bahwa PNI mengerjakan pembentukan kekuasaan yang halal, menurut
contoh organisasi modern. (hal 104). Disadari bahwa posisi PNI di dalam
mengejar Indonesia
merdeka harus melakukan aksi dengan
perbuatan. Realitas yang ada menyadarkan bahwa PNI masih berada di zaman
propaganda, yang memprogandakan asas dan tujuan PNI, sehingga rakyat tertarik
oleh kebenaran asas-asas itu. PNI juga ditegaskan jatidirinya sebagai partai
revolusioner, yang artinya radikal, mau mengadakan perubahan dengan lekas (hal
109). PNI juga menolak cara-cara perjuangan yang tidak nasionalis, yang sonder
pedang, sonder bedil dan sonder bom. Yang ditekankan
adalah perjuangan untuk menumbuhkan semangat rakyat atas dasar nasionalisme
yang menjadi jiwa PNI, suatu semangat cinta tanah air dan bangsa, kesediaan
berkorban, nasionalisme yang tidak benci bangsa lain, namun sebagaimana
disampaikan oleh Dr. Sun Yat Sen adalah nasionalisme yang memberi kepada negara
tenaga untuk membawa kemajuan dan memberi kepada suatu bangsa tenaga untuk
mempertahankan hidupnya (hal 116).
Dengan melihat pada hari dulu,
Bung Karno meyakini bahwa meskipun hari dulu diwarnai oleh feodalisme, yang
umpamanya tidak terganggu oleh imperalisme asing, niscaya bisa meneruskan
perjalanan evolusinya menjadi bangsa yang juga melahirkan suatu pergaulan hidup
yang modern pula. Refleksi yang dilakukan atas realitas jaman saat itu membawa
keinsafan terhadap jeleknya nasib bangsa. Kondisi inilah yang justru
menghidupkan rasa nasional rakyat, lebih-lebih jika dibawa kepada hari depan,
kepada suatu keinginan dan harapan, suatu keindahan sinar hari kemudian beserta
cara-cara mencapainya (hal 120)
Secara tegas Bung Karno
menyampaikan urat syaraf pembentukan kekuasaan PNI yang bertentangan dengan
urat syaraf sistem imperialisme. Sistem imperialisme yang melahirkan politik devide
at impera dijawab dengan persatuan Indonesia sebagai urat dan syaraf
pembentukan kekuasaan PNI yang pertama.
Imperialisme juga sangat
berkepentingan dengan kemunduran budi-akal rakyat adalah kepentingan sistem
imperialisme sebab imperialisme di Indonesia adalah imperialisme yang paling
hebat di dalam mengusahakan Indonesia sebagai daerah pengusahaan dari kapital
lebih. Disinilah makna urat dan syaraf pembentukan kekuasaan PNI yang kedua:
menghidupkan lagi kegagahan rakyat, energi rakyat sebagai sediakala. Inilah
urat syaraf pendorong rakyat kedepan (hal 130).
Sistem imperialisme juga
melibatkan skenario penciptaan budaya yang membodohkan, budaya yang
berkepentingan adanya kesadaran dan kepercayaan rakyat “bahwa ia memang suatu
rakyat kelas kambing”, suatu sistem budaya yang menginjeksikan kepada rakyat
suatu racun kepercayaan “kamu ni inlander bodoh,
kamu modar kalau tidak kita tuntun”. Kesadaran realitas inilah yang
mendasari perumusan urat dan saraf ketiga, yaitu percaya pada diri sendiri,
bekerja sendiri untuk sendiri, yakni syarat bagi politiknya self reliance atau
self help.
Lebih lanjut Bung Karno
menjelaskan realitas negeri jajahan yang selalu ada pertentangan kepentingan
antara kaum imperialisme dan Bumiputra, yang terjadi diseluruh lapangan
politik, ekonomi, sosial, budaya dan lapangan apapun. Disinilah secara tegas
Bung Karno menolak bahwa kedua pihak memiliki kesamaan kepentingan. Bung Karno
menolak politik asosiasi dan PNI mau berdiri di atas keadaan yang sebenarnya,
sehingga politik antitesalah, bukan asosiasi, yang menjadi urat saraf
pembentukan kekuasaan yang ke empat.
Dengan memahami seluruh kekuatan
imperialisme itulah Bung Karno sekaligus menemukan kelemahan imperialisme.
Seluruh jiwa, urat saraf pembentukan kekuasaan PNI menyatu di dalam badan PNI
yang berupa massa .
Pergerakan massa
yang sehebat-hebatnya yang
diidam-idamkan oleh PNI. Massa aksi yang harus bersentuhan dengan pergaulan hidup Indonesia yang
sebagian besar terdiri dari kaum tani, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil
dan pendek kata kaum Marhaen. Dalam bentuk pergaulan hidup seperti inilah
pergerakan Indonesia
akan memperoleh energinya. “Di dalam massa inilah mereka harus terjun dan
berjuang, di dalam kalangan massa
inilah mereka harus mencari kekuasaan bangsa (hal 145)”. Di dalam
pergerakan inilah kemerdekaan Indonesia
ditempatkan, sekaligus harus mendatangkan perbaikan-perbaikan yang kiranya bisa
tercapai pada hari sekarang (hal 146). Disinilah terletak makna aksi
pembentukan kekuasaan, yang membawa makna perbaikan “pada hari sekarang” sambil
menyatukan upaya memperoleh kemerdekaan. Aksi ini juga memiliki faedah
mendidik bagi rakyat dan bagus sekali
pula untuk memberikan rakyat keinsyafan dan kepercayaan akan tenaganya, akan
kekuatannya, akan kekuasaan yang sebenarnya.
Menjawab tuduhan bahwa Indonesia
merdeka oleh revolusi, Bung Karno menegaskan
bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil kerja berat yang melalui
berpuluh-puluh konsesi politik, sosial dan ekonomi yang semuanya harus
didesakkan satu persatu melalui desakan “kekerasan batin”. Inilah jalan
perjuangan PNI yang “tidak ada maksud menyimpang dari jalan yang syah
belaka”. PNI mendoa-doakan jangan sampai
ada pertumpahan darah (hal 158). Karena
itulah janganlah menyengsarakan rakyat, janganlah mengabaikan tuntutan rakyat.
Sebab revolusi bukanlah bikinan manusia, revolusi adalah bikinan pergaulan
hidup. Jika imperialisme terus menerus memepetkan pergaulan hidup, artinya
imperialisme sendirilah yang menebar-nebarkan benih revolusi itu, dan jalan
terbaik untuk menghindarkan revolusi, menurut Prof. Bluntschli adalah
mengadakan perbaikan-perbaikan yang cepat sampai keakar-akarnya.
Pada bagian akhir pledoinya, Bung
Karno menegaskan bahwa PNI menolak tuduhan pelanggaran pasal-pasal yang
dituduhkan, yaitu pasal 169 dan 153 BIS. Sebab PNI adalah partai yang halal
belaka yang tidak memiliki maksud untuk
mengadakan pemberontakan. Sedangkan pasal 169 sendiri seharusnya hanya
dimaksudkan untuk mengadili perhimpunan – perhimpunan yang didirikan untuk
melakukan tindak kejahatan.
Sedangkan terhadap tuduhan
menghasut dan menimbulkan ketidaktenteraman dan ramalan tahun 1930-an Bung
Karno kembali menegagaskan bahwa issue tersebut bertalian dengan sebab
akibat, yang tidak lain adalah akibat imperialisme Amerika, Jepang dan Inggris
yang berlomba memperebutkan tanah jajahan, khususnya negeri Tiongkok, dan balapan
ini yang melahirkan ketegangan di
Lautan Teduh. Bung Karno justru menolak sebagai penghasut atas issue tersebut,
sebab “kami mengerti: tak baiklah rakyat mempunyai harapan kosong”. Namun
realitas ketegangan di lautan Pasifik tersebut ditangkap oleh Bung Karno
berdasarkan fakta-fakta terhadap adanya persaingan adu kekuatan persenjataan
antara imperialisme Amerika, Jepang dan Inggris. Kabar yang mula-mula
dikeluarkan oleh pena kaum Eropa yang terpelajar dan bijaksana, justru
digunakan oleh Bung Karno untuk bertindak agar “rakyat segera sentosa, segera
menjadi bangsa (hal 167)”. Sebab “jikalau rakyat Indonesia tidak segera menjadi
bangsa yang teguh dan sentosa, kami juga tidak tahan atau tidak cukup kekuatan
untuk menderitakan pengaruh ledakan itu, khususnya pengaruh ekonomi”. Oleh
karena itulah Bung Karno sering mengingatkan bahaya yang mengancam dari lautan
teduh itu dengan maksud agar kita segera menjadi bangsa.
Lebih lanjut Bung Karno kembali menegaskan
bahwa seruan “robohkan imperialisme dan robohkanlah kapitalisme” tidaklah
melanggar pasal 153 bis atau 169. Sebab yang dirobohkan bukanlah bangsa Belanda
dan bangsa asing lainnya, tetapi adalah suatu sistem yang merusak, sistem yang
mencelakakan. Memang seruan itu disampaikan dengan bahasa yang radikal “yang
bernyala-nyala dengan api kekecewaan hati atas kesengsaraan rakyat (hal 199).
Pada bagian akhir dari
seluruh pledoinya Bung Karno kembali menegaskan keberanian moral dan
komitmennya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia . Keseluruhan design
pledoi ditulis bukan untuk mendapatkan ketinganan, tetapi untuk membuktikan
“bahwa kami tidak bersalah”, dengan mengharapkan adanya keputusan bebas, meskipun akhirnya “jikalau seandainya kami
orang toh harus menderita lagi kesengsaraan penjara, moga-moga pergerakan
seolah mendapat wahyu baru dan tenaga
baru, dan oleh karenanya moga-moga Ibu Indonesia suka menerima nasib kami
sebagai korban yang kami persembahkan di atas haribanya (hal 201). Sebab tiada
korban yang hilang terbuang, tiada korban yang sia-sia: no sacrifice is
wasted.
Pembelaan tersebut dilakukan
bukanlah sebagai pembelaan Soekarno,
Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredjo, ataupun pembelaan Soepriadinata:
“Kami berdiri disini sebagai putra-putri Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya”.
Seluruh rangkaian pledoi tersebut
kembali mendapatkan relevansinya atas semangat pengabdian kepada Ibu Pertiwi Indonesia yang kini justru terasa kering di
dalam tata pergaulan Indonesia ,
dan seolah kita menjadi begitu sulit menjelaskan kembali makna persatuan dan
kebangsaan Indonesia .
Melalui perenungan atas plenoi Bung Karno dkk inilah kita bisa merangkai kembali suatu semangat juang
“bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah jembatan”, diseberang jembatan itulah
perjuangan melawan dan memberhentikan imperialisme dengan seluas-luasnya.
Disinilah terasa urgensi untuk menjadikan pledoi ini sebagai bahan perenungan,
sumber inspirasi, dan sumber semangat juang, dan perjuangan pun akan menemukan
relevansi ideologinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar